Mohon tunggu...
Tmr Gitulooh
Tmr Gitulooh Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya ingin coba menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perspektif Dampak Pencemaran Lumpur Lapindo Sidoardjo sebagai Bukti Pencemaran Terhadap Lingkungan Hidup Serta Analisa Berbagai Permasalahannya

30 Januari 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:18 18461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

By Timur Abimanyu.

A.LATAR BELAKANG

Telah terjadi peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur pada Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00, karena terjadinya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimanakebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber kelahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup[1], dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.

Didalam kasus luapan Lumpur lapindo, telah terjadi juga aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),[2] dimana PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya, tidak dapat dibayangkan, terdapatnya ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada era Reformasi di Tahun 2009 terhadap penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung dapat terselesaikan dengan secara damai. Kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dari berbagai aspek yang seharusnya merupakan tanggung jawab sepenuhnya PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada yang mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana. Lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, WALHI mengupayakan adanya cara yang ditempuh oleh masyarakat melalui DPR (Public Inquiry), guna meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc dari kasus tersebut.

Berkaitan terhadap kasus tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk untuk mewakili korban Lumpur Lapindo melakukan menuntut terhadap PT Lapindo Brantas Inc, yang terkait dengan kejahatan Lingkungan Hidup dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas. Melalui Public Inquiry (pemberitahuan kepada masyarakat) terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab secara politik dan hukum untuk memberi ganti kerugian terhadap kasus Lumpur Lapindo tersebut.[3] Berdasarkan fenomena-fenomena inilah penulis berusaha menuangkan fikiran, dan serta memberikan cara berfikir dengan dasar landasan hukum yang berlaku, agar para pencari keadilan agar tidak salah melangkah didalam menentukan sikap dalam memperjuangkan hak-haknya yang berdasarkan rasa keadilan.

B.TUJUAN DAN MAKSUD

Menganalisa terhadap kasusyang terjadi dari kebocoran gas berserta luapan Lumpur panas adalah bertujuan untuk mengetahui secara mendalam dengan maksud siapa-siapa yang bertanggungjawab terhadap kasus tersebut dalam hubungan terhadap instansi terkaitan yang telah berkoordinasi dalam hal perizinan, dan terdapat statement yang menyatakan didalam pemeriksaaan yang dilakukan oleh Penyidik Polda Jawa Timur terhadap saksi ahli dari BMG[4], dengan menyatakan telah terjadinya kelalaian yang merupakan kesengajaan Lapindo, akibat dari dampak besar bagi lingkungan dan kerugian cukup besar bagi masyarakat yangmerupakan bencana ekologi[5], di Sidoarjo, Surabaya Jawa Timur.

B. KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Kerangka Teori dan Konsep, berdasarkan DifinisiH.L.A.HART yang Menyatakan: Bahwa ”suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur kekuasaan yang berpusat kepada keajiban tertentu didalam gejala-gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat ”.

Dan terhadap "Kejahatan Korporasi", Sally S. Simpson menyatakan "corporate crime is a type of white-collar crime". Sedangkan Simpson, mengutip John Braithwaite, mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai "conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law".

Achmad Santosa : (Good Governance Hukum Lingkungan : 2001) mengatakan, ”kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997 ”.

D.LANDASAN HUKUM

Kerangka dasar yaitu UU Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, TAP MPR IX/MPR/2001 Uraian 116D dan 116 E, dan Peraturan Pemerintah RI No.51 Tahun 1993 tentang analisis mengenai dampak lingkungan, PP No. 51 Tahun 1993 KEPMEN LH No. 10 Th 1994 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan (KEPMEN LH No. 11 Th 1994, KEPMEN LH No. 12 Th 1994, KEPMEN LH No. 13 Th 1994, KEPMEN LH No. 14 Th 1994, KEPMEN LH No. 15 Th 1994 ) ; KEPMEN LH No. 42 Th 1994, KEPKA BAPEDAL No. 056 Tahun 1994, KEPMEN LH No. 54 Th 1995, KEPMEN LH No. 55 Th 1995, KEPMEN LH No. 57 Th 1995, KEPMEN LH No. 39 Th 1996 dan KEPKA BAPEDAL No. 299/BAPEDAL/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. LIMBAH B3 (bahan berbahaya dan beracun) : PP No. 19 Th 1995, PP 12 Th 1994 tentang perubahan PP No. 19 Th 1994 ; PENCEMARAN AIR : PP RI. No. 20 Th 1990, KEPMEN LH. No. 52/MENLH/101/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair, KEPMEN LH. No. 58/MENLH/12/1995, KEPMEN LH. No. 42/MENLH/101/1996 KEPMEN LH. No. 43/MENLH/101/1996, dan PENCEMARAN UDARA : KEPMEN LH. No. 35/MENLH/101/1993, KEPMEN LH. No. Kep-13/MENLH/3/1995, KEPMEN LH. No. 50/MENLH/11/1996.

Dalam Bab IX, Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Dan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum, Undang Undang No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1, dan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003.

E.METODE PENELITIAN

Didalam penulisan makalah ini, penulis hanya menggunakan data primair yang terdiri dari bahan-bahan Pengetahuan lapangan akibat dampak pencemaran yang dari akibat luapan lumpur panas disertai dengan gas beracun, serta bahan Pengetahuan Hukum primair yaitu produk-produk hukum undang-undang yang terkait yang mengatur dampak pencemaran lingkungan hidup, yang terdiri dari Kebijakan Dasar dan Kebijakan Pemberlakuan dari kebijakan pemerintah didalam menjalankan kekuasaannya, dan berupa bahan-bahan dari arikel di Web Sitedan media cetak lainya yang berkaitan dengan judul makalah tersebut diatas.

F.PERUMUSAN MASALAH

Terdapat beberapa permasalahan yang sering diabaikan, didalam penerapan hukum terhadap dampak pencemaran lumpur lapindo yang didalam prakteknya belum memenuhi rasa keadilan :

1.Apakah yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan, terhadap suatu badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap peusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut ?

2.Jika memang demikian sampai seberapa jauhkah tanggung jawab dari pemerintah untuk mencari solusi dalam masalah korban lumpur lapindo, jika melihat keterkaitan dari Instansi Pemerintah yang telah memberi ijin terhadap perusahaan yang melakukan pemboran gas tersebut ?

3.Mengapa gugatan dari korban lumpur lapindo tidak melalui gugatan Class Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/ Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia atau yang sejenisnya ? mengingat gugatan Class Action harus diwakili oleh Suatu yang berbentuk Badan Hukum ?

G.ASUMSI

Asumsi sementara dari penulisan makalah dari ini, adalahsebagai berikut :

1.Jika luapan Lumpur lapindo di difinisikan sebagai bencana alam, maka kerusakan yang terjadi tersebut tidak didasari adanya suatu kegiatan disekitar lokasi/obyek bencana tersebut, bukanlah disebabkan olehsuatu bencanayang terjadi karena proses alam, akan tetapi luapan Lumpur lapindo berserta dengan gas beracun adalah disebabkan karena ketidak hati-hatian dari manusia, karena adanya kegiatan pemboran, yang seharusnya proses didalam pengerjaannya pemboran tersebut harus sesuai dari apa yang tertuang didalam proposal kegiatan pemboran dengan melalui suatu penelitian yang terperinci dan sedetail-detailnya.

2.Kegiatan pemboran yang dilakukan oleh suatu badan hukum yang mendapat ijin dari Pemerintah terkait, dan jika perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit yang dengan melalui prosedur peradilan yang menyatakan perusahaan tersebut dinyatakan pailit dengan suatu penetapan, maka dalam hal ini sudah seharusnya Pemerintah terkait yang memberi ijin tersebut (berdasarkan Proposal), harus mencarikan solusi atau jalan keluar untuk kehidupan masyarakat yang terkena bencana lumpur lapindo tersebut. Pemerintah yang terkait, yang berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan dari kasus luapan Lumpur lapindo, maka berdasarkan kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan sudah dianggap telah tidak melaksanakan amanat dari UU Dasar 1945 dan UU Hak Asasi Manusia (Konfensi Intenasional), yang telah mengenyampingkan produk hukumnya sendiri yaitu UU tentang Lingkungan Hidup (AMDAL) dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan bencana tersebut.



PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUPLINGKUNGANHIDUP

Melihat kepada fenomena lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia adalah sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan lingkungannya yang selaras dengan Wawasan Nusantara, didalam rangka mendayagunakan sumber daya alam serta untuk memajukankesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUDasar 1945,[6]untuk mencapai kebahagian hidup berdasarkan Pancasila yang perlu dilaksanakandalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional terpadu serta menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa akan datang. Atas dasar tersebut inilah, perlu dilaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, dimana penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidupharus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan Cq UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

A.Pengertian Lingkungan Hidup

Pengertian Lingkungan hidupmenurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain, dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Perlu dilakukannya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai upaya dasar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karenanya harus tersedianya sumber daya global yang merupakan sebagai unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan.

Dan untuk melakukan pencegahan terhadap pencemaran tersebut haruslah melihat kepada hal baku mutu lingkungan hidup, yang merupakan sebagai tolok ukur batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dimana pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi atau komponnen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.

B.Latar Belakang Sebelum TerjadinyaKasus Lumpur Lapindo Sidoarjo

Sebelum terjadinya luapan lumpur lapindo Sidoarjo Surabaya, ekosistem serta infrastruktur di Sidoarjo sangat baik, dimana kegiatan perekonomian berjalan lancar. Lingkungan hidup disekitar masyarakat sidoarjo tertata sesuai dengan ketentuan Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Kesejahteraan perekonomian sangat baik walaupun berjalan sangat lambat, akan tetapi terhadap swasembada pangan terutama dibidang agrobisnis di sekitar wilayah sidoarjo Surabaya berjalan lancer sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.

C.Ruang Lingkup Lingkungan Hidup di Sidoarjo

1.Pendekatan Intrumental.

Didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Atas dasar tersebut perlunya melakukan pengawasan dilaksanakan pengawasan terhadap setiap usaha atau kegiatan dengan menunjuk pejabat yang berwenang melakukan pengawasan terhadap lingkungan hidup, dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah, yang dibentuk khusus oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah (Gubernur) berwenang melakukan pemaksaan perintah terhadap penanggung jawab terhadap kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, untuk melakukan penyelamatan dan wewenang tersebut dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya, dimana terhadap pelanggaran tersebut dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha atau kegiatannya. Sedangkan untuk melakukan peningkatan kinerja usaha atau kegiatan dalam hal ini Pemerintah Pusat mendorong penanggung jawab usaha atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup (dalam hal ini kewenangan Meteri Lingkungan Hidup). Dan untuk menyelesaikan terhadap Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa, sedangkan penyelesaian sengketa diluar sidang tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup.

2.Pendekatan Hukum Alam.

Dalam pendekatan hukum alam tidak terlepas dari Hukum Kehutanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan, dimana menurut UUNo. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN.8/1967, TLN. 2832), Hutan[7] adalah suatu lapangan bertumbuh pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang oleh Pemerintah ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumpu-rumputan dan hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok.[8]

Berdasarkan Hukum Adat sebagai dasar pembangunan hukum, didalam mengadakan unifikasi hukum adalah tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar utama pembangunan Hukum Tanah yang baru, yang secara sadar diadakan kesatuan hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Baru/Perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya orang melihat dan mengartikan Hukum Adat hanya sebagai hukum positif yaitu sebagai hukum yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum, yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut berbeda sekali dengan norma-norma hukum tertulis, yang dituangkan dengan sengaja secara tegas oleh Penguasa Legislatif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, norma-norma Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis adalah rumusan-rumusan para ahli (hukum) dan hakim. Rumusan-rumusan tersebut bersumber pada rangkaian kenyataan mengenai sikap dan tingkah laku para anggota masyarakat hukum adat dalam menerapkan konsepsi dan asas-asas hukum, yang merupakan perwujudan kesadaran hukum warga masyarakat hukum adat tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus konkret/dampak akibat pencemaran lingkungan yang dihadapi dikawasan lingkungan hidup.[9]

Dasar-dasar penjelasan tersebut, sangat berkaitan erat dengan kasus luapan lumpur lapindo yang disertai dengan semburan gas beracun di sidoarjo Surabaya Jawa Timur, didalam hal mengenai dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang telah merusak ekosistim dan infrastruktur serta merugikan bagi kalangan masyarakat, perusahaan-perusahaan kecil maupun besar, yang menyebakan kegiatan disekitar luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo tersebut menjadi lumpuh total.

D.Kajian Hukum Lingkungan Hidup Sebelum Terjadinya Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo

Aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut WALHI, bahwa PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Bedasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawabPT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc.

Dalam kaitan dengan masalah tersebut, Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas yang beracun. Ada beberapa pendapatmengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya lumpur Lapindo yaitu : 1.Kasus kebocoran gas dan melubernya lumpur tidak disebabkan oleh gempa diwilayah Jogjakarta,2. Kasus yang merupakan kesengajaan Lapindo dan memberikan dampak besar bagi lingkungan dan masyarakat, yang merupakan bencana ekologi terbesar terjadi di Jawa Timur,3.Semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran, ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian tiba-tiba bor macet, sehingga gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah untuk keluar,4.Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak yang merupakan bencana alam, tapi karena faktor ketidak beruntungan/kelalaian atau karena ketidak hati-hatian, 5.Bahwa hidrogen sulfida (H2S), yaitu 20 ppm ceiling yang diberlakukan perusahaan hanya dapat diterapkan bagi pekerja, sedangkan bukan bagi masyarakat yang menghirup gas tersebut, yang dianggap sangat berbahaya bagi saluran pernafasan manusia, 6. Semburan lumpur Lapindo tersebut kemungkinan disebabkan kesalahan prosedural yang mengakibatkan terjadinya blow out, 7. Terhadap gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang tidak berhubungan situasi di Surabaya, jika hal tersebut benar (Blow Out Prevenery/BOP) telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur, jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar, dan 8. terdapatnya zona yanglemah tidak diantisipasi Lapindo, berupa sesar (patahan) yang kini meretakkan struktur geologi kawasan pengeboran di Porong sehingga mengakibatkan semburan lumpur.

Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.

Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup.

Simpson menyatakan ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional. Mas Achmad Santosa (Good Governance Hukum Lingkungan: 2001) mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon, dapat dipidana berdasarkan UU No.23/1997.

Menurutnya, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.[10] Sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3. Dan dari aspekpelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak dapatdibayangkan, bahwa banyakribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat, dengan pelaksanaan penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung jelas.serta adanya kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dan dalam aspek dampak materiil maupun spikologis seharusnya yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana.

Akibat dampak pencemaran tersebut, maka sudah seharusnya bagi Pemerintah Indonesia harus : 1.mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, 2. dengan membebankan tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas, PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas, 3. aparat penegak hukum konsisten dalam mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc., meliputi pemegang saham, dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, seperti Mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP Migas, 4. Presiden melalui ESDM, Dirjen Migas, dan BP Migas, bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah, 5.mengkaji ulang seluruh perundang-undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral dan menempatkan aspek keselamatan dan kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup sebagai prioritas pertama dan utama dan melakukan proses audit atas eksplorasi dan eksploitasi migas di kawasan pemukiman padat untuk meninjau kembali kelayakan proyek-proyek tersebut.

LUAPAN LUMPUR LAPINDO DIDASARI KEPADA METODE PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM

Peristiwa luapan Lumpur lapindo disebabkan karena terjadinya kelalaian atau human error didalam melakukan pengeboran disidoarjo, Surabaya Jawa Timur.

APeristiwa Terjadinya Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo.

Peristiwa luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur yang terjadi pada tanggal 28 Mei 2006 kira-kira pukul 22.00, disebabkan kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, di lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Dimanakebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga. Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06) melaporkan, tak kurang 10 pabrik harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng, belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua tergenang lumpur panas. Berdasarkan data yang didapat WALHI Jawa Timur, yang mencatat jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.

Bencana luapan Lumpur lapindo didasari aspek politis, yang merupakan sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dimana Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam. Berdasarkan poin tersebut dalam kaitannya pada kasus luapan lumpur panas, pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya, dimana seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem. Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti contoh kasus pada kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kasus tumpahan minyak mentah (2002) karena eksplorasi Premier Oil.18, yang terakhir tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur lapindo Sidoarjo, sumur minyak Sukowati Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar. Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati harus dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran. Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi setiap kasus padadampak pencemaran lingkungan hidup.

B.Timbul Dampak Akibat Pencemaran Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo.

Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.

Dalam Kasus Luapan Lumpur Lapindo dapat dianggap sebagai Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup. Begitu juga dari aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut Walhi, bahwa PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus luapan lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat.

Berdasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawabPT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas In dengan menugaskan Jaksa Agung dapat ditunjuk sebagai pengacara negara untuk menuntut PT Lapindo Brantas Inc. terkait dengan kejahatan lingkungan dan pelanggaran multi-dimensi akibat lumpur panas, yang disebabkan kebocoran Gas yang beracun.Ada beberapa pendapatmengenai penyebab bocornya gas yang disertai meluapnya lumpur Lapindo yang telah dijelaskan tersebut diatas.

C Fungsi Hukum Sebagai Sosial Kontrol Terhadap Dampak Pencemaran Lumpur Lapindo Sidoarjo.

Peristiwa luapan lumpur lapindo sidoarjo yang disebabkan karena tidak terdapatnya sosial kontrol serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 1997, dan berkaitan dengan masalah tersebut Walhi sebagai wadah pengamat yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap lingkungan hidup yang seharusnya lebih serius untuk mengamati gejala-gejalayang terjadi di sidoarjo surabaya jawa timur. Dimana kelalaian yang telah terjadi yang menyebabkan luapan lumpur panas tersebut adalah merupakan sudah menjadi tugas pemerintah untuk melaksanakan ketentuan UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana..

Sudah menjadi kewajiban dari Pemerintah terkait untuk merevitalisasi dari korban-korban serta dampak dari luapan lumpur lapindo tersebut terhadap keharusan dari PT Lapindo untuk memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh masyarakat maupun perusahaan-perusahaan yang berada disekitar luapan lumpur sidoarjo, surabaya jawa timur. Terhadap suatu kejahatan korporasi dapat dituntut atau dikenakan sangsi pidana serta penuntutan ganti kerugian yang berdasarkan Undang-Undang N0. 23 Tahun 1997 tentang Lingkunga Hidup yang didalam pasal 29 ayat 5, yang berdasarkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan. Kemudian dalam pasal 30 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa, dengan maksud untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai suatu sengketa lingkungan hidup dan untuk menjamin kepastian hukum.

D.Sangsi Hukuman Berupa Tuntutan Sangsi Pidana dan Perdata serta Sangsi Administratif Terhadap Badan Hukum yang telah Melakukan Kelalaian.

Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Yang sampai sekarang terhadap penegakan hukum atas kasus luapanLumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasannya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.

Melihat kepada data-data serta fakta-fakta pelanggaran konspiratif dalam perolehan ijin eksplorasi, pengawasan pemerintah yang tidak serius kepada Lapindo, termasuk pembiaran penggunaan peralatan dan teknologi pemboran yang asal-asalan, prediksi geologis pemboran Sumur BJP-1 yang banyak kelirunya sehingga pelaksanaan pemboran menyimpang dari perencanaan, lalu menimbulkan semburan lumpur yang menghancurkan nasib masyarakat secara meluas yang ditangani dengan cara ketidakadilan, maka peristiwa itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat, dengan terusirnya kelompok penduduk akibat konspirasi pengelolaan usaha migas Blok Brantas itu. Pelanggaran HAM berat yang dirumuskan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; ..." Penegak HAM harus memahami tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut yang diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi `pelanggaran HAM berat´ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu : “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health”.

Sebagimana pengaturan sanksi hukumam terhadap bencana luapan Lumpur panas Lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48.Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atauyang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum dapat diatasi..

Sedangkan terhadap sanksi pidanaadalah merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggul dapat di ancam pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya15 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terkait.Sesuai dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai akibat tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkait yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.

Walaupun sudah jelas pengaturan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup yang merupakan sebagai payung hukum untuk melandasi segala kegiatan yang membawa dampak lingkungan hidup, yang sudah pasti akan berdampak negatif terhadap kehidupan manunusia, begitu pula terhadap pengaturan sanksi administrative dan sanksi pidananya.

E.Gugatan Class Action Sebagai Upaya untuk Melaksanakan Penuntutan Terhadap PT.Lapindo di Sidoarjo

Tindakan Gugatan Class Action dimana dasar hukum yang diajukannya adalah pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa "setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut."? Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan melawan hukum.

2. Adanya unsur kesalahan.

3. Adanya kerugian.

4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang.

Terdapat unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur yang dianggap :

1. Bertentangan dengan hak orang lain.

2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri.

3. Bertentangan dengan kesusilaan.

4.Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

Unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri. Berkaitan dengan kasus tersebut, banyak masyarakat konsumen merasa dirugikan dengan masalah kualitas pelayanan. Mengenai masalah kualitas pelayanan, pihak Komparta telah melakukan riset di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Dari kelima wilayah, pihak Komparta menemukan bahwa banyak konsumen air minum yang dirugikan khususnya dengan adanya berbagai persoalan mengenai kualitas pelayanan yang tidak memadai. Kedua, masalah teknis juga terkadang dialami oleh para konsumen.

Masalah teknis itu seperti masalah indikasi kebocoran dan juga selain itu juga mengenai persoalan aktivitas dari pihak perusahaan air minum itu banyak merugikan masyarakat atau lingkungan sekitarnya, misalnya dalam persoalan mengenai penanaman pipa, kelambanan memperbaiki galian. Semua hal itu melandasi bahwa masyarakat konsumen ini banyak mengalami kerugian-kerugian selama pelayanan-pelayanan maupun dari sisi kebijakan-kebijakan yang dilakukan dan juga dirasakan oleh masyarakat konsumen. Menyalahi UUPKI ? Menanggapi gugatan itu, kuasa hukum para tergugat dari kuasa hukumnya Gubernur DKI jakarta dan DPRD DKI Jakarta menilai bahwa gugatan yang dilayangkan LSM Komparta tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dimana kuasa hukum tergugat mendalilkan pendapatnya pada pasal 46 ayat (1) UUPK. Berdasarkan ketentuan ini gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh (1) seorang konsumen; (2) sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; (3) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, dan (4) pemerintah atau instansi terkait. Tergugat sepakat bahwa gugatan Komparta dapat dikategorikan sebagai gugatan yang diajukan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Namun, gugatan tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagai gugatan class action. Berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf UUPK, lembaga konsumen swadaya masyarakat (yang mengajukan gugatan) haruslah berbentuk badan hukum atau yayasan.

Berdasarkan penelusuran tergugat, Komparta baru dideklarasikan pada 21 Maret 2003 dan beranggotakan 17 orang, dimana organisasi tersebut memang mempunyai struktur kepengurusan, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga. Tetapi dari segi yuridis, Komparta belum masuk kategori badan hukum atau yayasan. Sebab, ternyata Komparta baru terdaftar di kantor notaris di Jakarta. Sudaryatmo, Divisi Litigasi YLKI, berpendapat bahwa ketentuan pasal 46 di atas harus dilihat sebagai upaya pembuat undang-undang menciptakan lembaga konsumen swadaya masyarakat yang baik. Lembaga yang mewakili konsumen harus benar-benar menunjukkan kiprahnya sehingga layak disebut mewakili konsumen.Seingat Sudaryatmo, ketentuan di atas merujuk ketentuan serupa di Belanda. Di lembaga konsumen yang menggugat mewakili konsumen harus secara riil membuktikan kiprahnya. Status organisasi harus mencantumkan kegiatan mereka di bidang perlindungan konsumen.

Namun demikian dalam putusan sela pertama, hakim menolak eksepsi dari para pihak tergugat tersebut, demikian juga pada sebelum putusan akhir dibacakan majelis hakim pun menolak materi eksepsi dari. Para Tergugat berpendapat dalam eksepsinya bahwa gugatan Penggugat seharusnya dilayangkan ke PTUN, bukan ke Pengadilan Negeri, sehingga pada akhirnya majelis hakim mengabulkan tuntutan dari para pihak Penggugat yang diwakili oleh LSM Komparta tersebut. Berkaitan dengan kasus-kasus class action tersbut diatas dan juga perkara Class Action yang ada di Indonesia, seperti pada sidang gugatan Class Action Korban Tahun 1965. Pada sidang gugatan class action korban-korban orde baru pada tahun 1965 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/diganggu sekelompok orang yang mengatas namakan kelompok keagamaan dan nasionalisme. Sunarno, 71 tahun eks tapol yang saat ini menjadi Dewan Pengurus Pusat Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965, menyatakan hanya menuntut hak mereka dan tidak ingin macam-macam. “Kami merasa tidak bersalah tapi dipersalahkan begitu saja,”katanya. Selain itu menurut Sunarno kedatangan eks tapol-napol secara berombongan bahkan dari daerah pada acara persidangan tersebut dikarenakan mereka ingin mengetahui pengadilan tersebut akan meluruskan orang-orang yang tidak pernah dinyatakan salah dalam pengadilan. “Kalau salah, ya, salah, tapi biar nanti pengadilan yang menentukan. Menanggapi sikap sekelompok orang yang mendomo gugatan para korban kekejaman orde baru itu, Sunarno hanya bisa sabar. “Terserah itu hak mereka, kami menghormati hak orang, jadi hargailah kami, kami juga berhak mengajukan gugatan lebih baik saling menghargai hak masing-masing,”katanya. Dan senada dengan perkataan tersebut, Toga Tambunan menyatakan harapannya agar haknya sebagai Warga Negara dikembalikan. “Kami mengharapkan keadilan dari sisi ekonomi, sosial dan budaya dipulihkan, paling tidak kita setara dengan masyarakat umum dalam perkara hukum,” ujarnya. Menurut Toga, dia pada usia 13,5 tahun ditahan tanpa pernah diadili dan itu merupakan kerugian besar bagi seseorang yang di penjara. “Kami dipenjara tapi tidak tau apa dan siapa yang melakukan hal ini padahal dari sisi hukum mestinya yang bersalah yang dituntut,” Sebenarnya kejahatan orde baru di bawah Suharto bukan hanya terjadi pada orang-orang yang disebut PKI, tetapi juga terhadap ummat Islam dan kelompok-kelompok yang menentang pemerintah diktatorial dan korup.

Berkaitan dengan kasus-kasus tersebut, penulis mengutip penyataan Wakil Ketua Mahkamah Agung RI, dalam Pengarahan pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2008 di Jakarta, Mengenai kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkaitan dengan kasus Class Action, dimanaadanya gugatan yang diajukan oleh beberapa orang mewakili orang banyak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat TUN. Gugatan dimaksud adalah gugatan perwakilan kelompok (class action), namun permasalahannya adalah apakah sengketa tersebut merupakan sengketa TUN yang timbul karena dikeluarkannya keputusan TUN. Dimana keputusan TUN, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Pada intinya, bahwa keputusan TUN yang disengketakan itu harus bersifat konkrit, individual dan final (kif). Dalam suatu gugatan class action, wakil kelompok yang mengajukan gugatan bukan saja bertindak untuk diri mereka sendiri tetapi juga anggota kelompok yang jumlahnya banyak yang identitasnya ada yang belum diketahui. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa Penggugat dalam suatu gugatan haruslah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yakni penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final. Keputusan TUN yang bersifat individual adalah keputusan TUN yang tidak ditujukan untuk umum, melainkan tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika yang dituju tersebut lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan. Berdasarkan yang telah uraian, gugatan class action tidak dimungkinkan pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

Terdapatnya titik singgung dengan Peradilan Umum, dimana Seringkali gugatan pembatalan suatu sertifikat tanah diajukan oleh seseorang (yang tidak menguasai tanah sengketa) yang merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkannya sertifikat tanah dimaksud atas nama orang lain. Dalam sengketa sertifikat tanah tersebut Hakim haruslah berhati-hati dengan benar-benar mempertimbangkan apakah sengketa tersebut adalah sengketa TUN ataukah sengketa kepemilikan atas tanah dimaksud yang menjadi kompetensi Peradilan Umum untuk memeriksa dan memutusnya. Yang seyogyanya Peradilan TUN dalam memeriksa dan memutus gugatan tentang sertifikat tanah berpegang teguh pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 yakni : a. Apakah keputusan TUN yang digugat (i.c. sertifikat tanah) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Apakah keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam permaslahan ini, Hakim harus juga memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, antara lain keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 huruf a Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut undang-undang tersebut. Kebijakan Hukum yang harus diambil,pada tanggal 9 September 2006, Presiden telahmenandatangani surat keputusan pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang didalamnya menyebutkan tim dibentuk untuk menyelamatkan penduduk di sekitar lokasi bencana, menjaga infrastruktur dasar, dan menyelesaikan masalah semburan lumpur dengan risiko lingkungan paling kecil dan Tim dipimpin Basuki Hadi Muljono, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjan Umun,dengan tim pengarah sejumlah menteri, diberimandat selama enam bulan dan seluruh biaya untuk pelaksanaan tugas tim nasional ini dibebankan pada PT Lapindo Brantas.

Dilakukan penahanan terhadap tersangka,Polda Jawa Timur telah menetapkan 12 tersangka, yaitu 5 orang dari PT Medici Citra Nusantara, 3 orang dari PT Lapindo Brantas, 1 orang dari PT Energi Mega Persada dan 3 orang dari PT Tiga Musim Jaya. PT Tiga Musim Jaya terkait kasus Lapindo karena ia merupakan penyedia operator rig (alat bor). Dimana tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara, yang secara otomatis UU pencemaran lingkungan hidup ini sudah termasuk kejahatan korporasi karena merusak lingkungan hidup.

ANALISA PERMASALAHAN

A.Menganalisa Faktor Internal.

Sebagai jawabandari perumusan masalah yang secara factor internal, penulis berusaha menganalisapermasalahan badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap perusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut,jika dengan berdasarkan suatu putusan pengadilan yang didalam pertimbangannya bahwa PT. Lapindo dianggap pailit, akan tetapi PT. Lapindo tersebut tidak terlepas dari kewajiban untuk tetapmemberi ganti kerugian kepada masyarakatmaupun perusahaan yang mengalami kerugian akibat kecerobohan maupun kelalaian dari Kegiatan pemboran gas tersebut. Karena mengingat setiap ekplotasi dari pemboran gas tersebut sudah pasti telah dilakukan jaminan asuransi lokal maupun asuransi internasional.

Berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban dari akibat luapan Lumpur lapindo, yang harus bertanggung jawab adalah selain PT. Lapindo, juga Pemerintah Daerah (Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera mencari solusi atau jalan keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak pencemaran luapan Lumpur lapindo, sidoarjo. Hal mana yang keterkaitan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, didalam hal pemberian izin, yang baik berdasarkan kebijakan ekonomi maupun kebijakan politis, baik secara internal adalah berupakan sebagai kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan dari Pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat. Karena jika kita melihat ketentuan dari UU No. 23 Tahun 1997 yang telah diuraikan diatas, yang bertanggung jawab untuk memberikanganti kerugian kepada korban luapan Lumpur panas sidoarjo adalah sudah merupakan kewajiban dari badan hukum maupun pemerintah yang terkait yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan hidup.

Sehubungan dengan gugatan Class Action yang diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, yang berdasarkan pada dasar-dasar Ilmu Psikologis, Ilmu Hukum Pidana maupun Perdata, Politik Hukum, Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup dan pandangan Filsafat Hukum, dimana terhadap korban lumpur lapindo dapat dimungkinkan melakukan gugatan Class Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan/Badan Hukum yang telah mendapat ijin dari Pemerintah dengan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri. Melihat dari kasus tersebut bahwa gugatan Class Action adalah yang dianggap paling efektif untuk menyelesaikan kasuskorban Lumpur Lapindo, karena dari aspek-aspek keilmuannya telah terbuktinya telah memenuhi berbagai unsur, yang dapat menjadi dasar tuntutan/gugatan ganti kerugian bagi para korban luapan lumpur lapindo sidoarjo. Dengan tidak terlepas pula dari unsur-unsur pidana yang dapat dibebankan hukuman yang berlapis, seperti Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain sebagainya.

B.Menganalisa Faktor Eksternal.

Jika terhadap realisasi yang berdasarkan factor internal, tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya didalam hal mengenai pengganti kerugiandari para korban luapan Lumpur Lapindo, Sidoarjo maka secara factor eksternal dimana pandangan dari dunia internasional bahwa terhadap penerapan sistim hukum di Indonesia, belum dapat dikatakan menjamin kepastian hukum. Mengingat terhadap kasus yang sudah jelas-jelas terlihat adanyapelanggaran (secara factor internal)yaitu adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia, Tindak Pidana Korporasi sesama instansi terkait, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Tindak Pidana Korupsi. Maka sudah dapat dipastikan Negara Indonesia akan mendapat kecaman dari dunia Internasional karena tidak menjalankan dari apa yang sudah merupakan hasil keputusan konfensi Internasional. Dan sudah barang tentu pula akan membuat resah atau adanya keragu-raguan dari para infestor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena melihat bahwa undang-undang yang berlaku di Indonesia tidak dapat menjamin terciptanya kepastian hukum.

K e s i m p u l a n.

1.Lingkungan Hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia yang merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan lingkungannya yang selaras dengan Wawasan Nusantara, didalam rangka mendayagunakan sumber daya alam serta untuk memajukankesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UU Dasar 1945, yang didasari dan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 1982 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan Cq UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

2.Sebelum terjadinya luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, ekosistem serta infrasutruktur di Sidoarjo sangat baik, dimana kegiatan perekonomian berjalan lancar. Lingkungan hidup disekitar masyarakat sidoarjo tertata sesuai dengan ketentuan Undang Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Kesejahteraan perekonomian sangat baik walaupun berjalan sangat lambat, akan tetapi terhadap swasembada pangan terutama dibidang agrobisnis di sekitar wilayah sidoarjo Surabaya berjalan lancar sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945.

3.Setelah terjadinya peristiwa Luapan Lumpur Lapindo Sidoarjo Surabaya, Jawa Timur dimana Tanggal 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00 terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di areal ladang eksplorasi gas Rig TMMJ # 01, lokasi Banjar Panji perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Kebocoran gas tersebut berupa semburan asap putih dari rekahan tanah, membumbung tinggi sekitar 10 meter. Semburan gas tersebut disertai keluarnya cairan lumpur dan meluber ke lahan warga dan semburan lumpur panas tersebut sampai saat ini belum juga bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan sekitarnya yaitu tidak kurangdari 10 pabrik harus tutup, 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa digunakan dan ditempati lagi, demikian juga dengan tambak-tambak banding dan lain sebagainya. Dan terhadap data yang didapat bahwa terdapatnya jumlah pengungsi di lokasi Pasar Porong Baru sejumlah 1110 Kepala Keluarga dengan Rincian 4345 jiwa dan 433 Balita, Lokasi Kedung Bendo jumlah pengungsi sebanyak 241 Kepala Keluarga yang terdiri dari 1111 Jiwa dan 103 Balita, Lokasi Balai Desa Ronokenongo sejumlah 177 Kepala keluarga dengan rincian 660 jiwa.

4.Menurut analisa lingkungan, Bappedal Jawa Timur, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertambangan Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc., disebutkan bahwa lumpur yang menggenangi lebih dari 5 perkampungan warga mengandung konsentrasi fenol yang melebihi ambang batas. Misalnya, dengan konsentrasi pada air, 46mg/1, 50% populasi ikan mas mati. Selain itu, fenol merupakan racun bagi tumbuhan air, meski dalam kadar yang minimal, dapat diurai oleh mikroorganisme dan pada titik ini, dapat berbahayanya bila lumpur di buang ke laut, karenamengandung kadar fenol yang melebihi batas normal amat rentan bagi kesehatan manusia.

5.Berdasarkan Pendekatan Intrumental,dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimana bagi setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6.Berdasarkan Pendekatan Hukum Alam, yang tidak terlepas dari Hukum Kehutanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan dan hasil hutan, dimana menurut UUNo. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (LN.8/1967, TLN. 2832), Hutan adalah suatu lapangan bertumbuh pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang oleh Pemerintah ditetapkan sebagai hutan, industri, kayu bakar, bambu, rotan, rumpu-rumputan dan hasil hewan seperti satwa buru, satwa elok. Berdasarkan Hukum Adat sebagai dasar pembangunan hukum, didalam mengadakan unifikasi hukum adalah tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar utama pembangunan Hukum Tanah yang baru, yang secara sadar diadakan kesatuan hukum yang memuat lembaga-lembaga dan unsur-unsur, baik yang terdapat dalam Hukum Adat maupun Hukum Baru/Perundang-undangan yang berlaku. Pada umumnya orang melihat dan mengartikan Hukum Adat hanya sebagai hukum positif yaitu sebagai hukum yang merupakan suatu rangkaian norma-norma hukum, yang menjadi pegangan bersama dalam kehidupan bermasyarakat.

7.Aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yang menurut WALHI, bahwa PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan, dimana ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sampai pada saat sekarang ini, terhadap penegakan hukum atas kasus luapan Lumpur Lapindo tak kunjung jelas, terdapatnya kebijakan politik yang minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Bedasarkan pengamatan WALHI, dari pelbagai aspek yang mesti menjadi tanggung jawabPT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana., sangat lambannya penyelesaian kasus lumpur Lapindo, dimana WALHI akan mengupayakan suatu tindakan public inquiry, yang merupakan upaya yang akan ditempuh oleh masyarakat melalui Dewan Perwakilan Rakyat, untuk meminta pertanggung jawaban PT Lapindo Brantas Inc.

8.Terdapatnya suatu Kejahatan Korporasi, sesuai dengan Landasan Hukum, dimana pada Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Kejahatan korporasi dalam sistim hukum Indonesia, diatur dalam UU No.23/1997 tentang Lingkungan Hidup.

9.Pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3. Dan dari aspekpelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak dapatdibayangkan, bahwa banyakribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat, dengan pelaksanaan penegakan hukum atas kasus lumpur Lapindo tak kunjung jelas.serta adanya kebijakan politik minus etika lebih dikedepankan ketimbang aspek keadilan masyarakat. Dan dalam aspek dampak mateiil maupun spikologis seharusnya yng menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc./PT Energi Mega Persada mencakup aspek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hukum, politik, perdata dan pidana.

10.Bencana luapan Lumpur lapindo didasari aspek politis, yang merupakan sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), dimana Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam.Berdasarkan poin tersebut dalam dalam kaitannya pada kasus luapan lumpur panas, pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya, dimana seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem.

11.Akibat Dampak luapan Lumpur Panas, mengakibatkan banyaknya lingkungan fisik yang rusak, kesehatan warga setempat juga terganggu, yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit, karena lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik jika menumpuk di tubuh dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker, mengurangi kecerdasan, yang berdasarkan uji laboratorium terdapat kandungan bahan beracun dan berbahaya (B3) yang melebihi ambang batas. Dalam sampel lumpur dan dianalisis oleh laboratorium uji kualitas air terdapatnya fenol berbahaya untuk kesehatan dan kontak langsung di kulit dapat membuat kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dimana efek sistemik atau efek kronis bisa disebabkan fenol masuk ke tubuh melalui makanan.

12. Luapan lumpur lapindo sidoarjo yang disebabkan karena tidak terdapatnya sosial kontrol serta kurangnya penerapan sangsi pidana terhadap pelanggaran dari akibat dampak pencemaran Lingkungan Hidup yang diatur oleh UU No. 23 Tahun 1997, dan berkaitan dengan masalah tersebut Walhi sebagai wadah pengamat yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap lingkungan hidup yang seharus lebih serius untuk mengamati gejala-gejalayang terjadi di sidoarjo surabaya jawa timur. Dimana kelalaian yang telah terjadi yang menyebabkan luapan lumpur panas tersebut yang merupakan sudah menjadi tugas pemerintah untuk melaksanakan ketentuann UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No7/2004 tentang Sumber Dyaa Air c.q PP No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

13.Terdapatnya aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan PP No. 85/1999 mengenai pengelolaan limbah B3, yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Inc, baik secara langsung maupun tidak langsung yangtelah merugikan masyarakat dalam pelbagai segi, misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya. Tak bisa dibayangkan, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Yang sampai sekarang terhadappenegakan hukum atas kasus lupana lumpur Lapindo tak kunjung ada kejelasnnya. Dan terhadap pertanggung jawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau yang nyata, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.

14.Sanksi hukumam terhadap pelsku ysng menyebsbksn bencana luapan lumpur panas lapindo sidoarjo, dapat diancam hukuman sebagai mana yang diatur pelaku dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 mengatur mengenai sangsi berupa sanksi Administrasi diatur oleh Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 dan sanksi Pidana diatur oleh Pasal 41 sampai dengan Pasal 48.Dan terhadap sangsi administrasi adalah merupakan sebagai hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran terhadap lingkungan hidup, yang berupa pencabutan perizinan usaha/kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan berakibat usaha/kegiatan tersebut berhenti secara total, dengan berkewajiban memulihkan kembali lingkungan hidup yang telah tercemar atauyang telah hancur akiban luapan lumpur panas sidoarjo yang sampai sekarang belum dapat diatasi.

15. Sanksi pidana, merupakan sebagai hukuman yang dilakukan dengan sengaja, kealpaannya, kelalaian atau informasi palsu melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau pengrusakan akibat jebolnya tanggung dapat di ancama pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun atau sampai seberat-beratnya 15 tahun atau denda sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,- atau sampai sebesar Rp. 500.000.000,- sesuai dengan tingkat pelanggaran/kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha lingkungan hidup dalam hal ini pemerintah terait. Sesuai dengan kasus luapan lumpur panas lapindo, dimana pada kasus tersebut adalah sebagai akibatkan tidak terealisasikannya landasan hukum serta social kontrol pengawasan terhadap dampak luapan lumpur lapindo dalam kaitannya terhadap pencemaran terhadap lingkungan hidup, terutama pada instansi terkaita yang telah memberi perizinan terhadap pemboran disidoarjo tersebut.

16.Gugatan Class Action dimana dasar hukum yang diajukannya adalah pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa "setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut. Untuk dapat dikatakan sebagai Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya perbuatan melawan hukum, 2. Adanya unsur kesalahan, 3. Adanya kerugian dan 4. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang. Terdapat unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi unsur-unsur yang dianggap : 1. Bertentangan dengan hak orang lain, 2. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, 3. Bertentangan dengan kesusilaan dan 4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

17.Unsur-unsur yang bersifat alternatif, artinya untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam perkara ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat adalah yang bertentangan dengan hak orang lain dan kewajiban hukumnya sendiri. Berkaitan dengan kasus tersebut, banyak masyarakat konsumen merasa dirugikan dengan masalah kualitas pelayanan.

18.Berkaitan dengan keputusan TUN, yang disengketakan itu harus bersifat konkrit, individual dan final (kif). Dalam suatu gugatan class action, wakil kelompok yang mengajukan gugatan bukan saja bertindak untuk diri mereka sendiri tetapi juga anggota kelompok yang jumlahnya banyak yang identitasnya ada yang belum diketahui. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa Penggugat dalam suatu gugatan haruslah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan TUN yakni penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final. Keputusan TUN yang bersifat individual adalah keputusan TUN yang tidak ditujukan untuk umum, melainkan tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Jika yang dituju tersebut lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan. Berdasarkan yang telah uraian, gugatan class action tidak dimungkinkan pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN).

19.Terdapatnya titik singgung dengan Peradilan Umum, dimana Seringkali gugatan pembatalan suatu sertifikat tanah diajukan oleh seseorang (yang tidak menguasai tanah sengketa) yang merasa kepentingannya dirugikan karena dikeluarkannya sertifikat tanah dimaksud atas nama orang lain. Dalam sengketa sertifikat tanah tersebut Hakim haruslah berhati-hati dengan benar-benar mempertimbangkan apakah sengketa tersebut adalah sengketa TUN ataukah sengketa kepemilikan atas tanah dimaksud yang menjadi kompetensi Peradilan Umum untuk memeriksa dan memutusnya. Peradilan TUN dalam memeriksa dan memutus gugatan tentang sertifikat tanah berpegang teguh pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 yakni : a. Apakah keputusan TUN yang digugat (i.c. sertifikat tanah) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Apakah keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

20.Secara factor internal, bahwa badan hukum/Perusahaan yang sudah menganggap peusahaan tersebut tidak mampu membayar/pailit dapat terlepas dari kewajiban untuk membayar dari pihak-pihak yang dirugikan tersebut,jika dengan berdasarkan suatu putusan pengadilan yang didalam pertimbangannya bahwa PT. Lapindo dianggap pailit, akan tetapi PT. lapindo tersebut tidak terlepas dari kewajiban untuk tetapmemberi ganti kerugian kepada masyarakatmaupun perusahaan yang mengalami kerugian akibat kecerobohan maupun kelalaian dari Kegiatan pemboran gas tersebut. Dan terhadapa gugatan Class Action yang diwakili oleh suatu Yayasan yang berbentuk Badan Hukum/Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia, yang berdasarkan pada dasar-dasar Ilmu Psikologis, Ilmu Hukum Pidana maupun Perdata, Politik Hukum, Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup dan pandangan Filsafat Hukum, dimana terhadap korban lumpur lapindo dapat dimungkinkan melakukan gugatan Class Action yang dalam hal ini diwakili oleh suatu Yayasan/Badan Hukum yang telah mendapat ijin dari Pemerintah dengan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri.

21.secara faktor eksternal, terhadap penggantian kerugianterhadap dari para korban luapan Lumpur lapindo, sidoarjo, maka akan membawa dampak negatif karena pandangan dari dunia internasional yang berkaitan dengan melihat dari kasus lumpur lapindo yang sampai pada saat sekarang ini masih belum dapat diselesaikan baik semburan lupunya maupun dalam hal penggantia kerugian terhadap para korban luapan lumpur lapindo tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Linda. “ Capital Markets And Institutions “: A Global View.New York, Brisbane, Singapore : Jhon Wiley & Sons’s, Inc., 1997.

Asmon, I.E.” Pemilikan Saham Oleh Karyawan: Suatu Sistem Demokrasi Ekonomi Bagi Indonesia”, dalam Didik J.Rachbini, ed , Pemikiran Kea rah Demokrasi Ekonomi. Jakarta, LP3ES, 1990.

ANTV, Tgl8 Juni 2006, Kompas,Tgl8 Juni 2006, Try Harijono, Jawa Pos,Tgl2 Juni 2006, Surya, Tgl 10 Juni 2006, iit/ant., Marcilinus, anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan Koran Tempo, tgl16 Juni 2006.

Arsyad, Lincolin. “ Ekonomi Pembangunan”, Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Edisi ke 4, tahun 2004.

Bronkhorst,C; ”L’atat de necessite.In : Netherlands Report, etc.Pescara 1970 (See Bibl.No. 63)pp.341-352.On Necessity.`

Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and Isues Business Publication INC.Plano, Texas 1991.

Beaver, William H. “ The Nature of Mandated Disclosure”, dalam Richard A. Posner dan Kenneth E.Scott, ed, Economic of Corporation Law and Securities Regulation.Boston, Toronto : Little Brown & Company, 1980.

Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Sixt Edition.ST.Paul. Minn: West Publishing Co, 1990.

Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, http:// www.walhi. or.id/ kampanye/ cemar/industri/ 060728_psclapindo_ rep/

Coffe, Jhon C.Jr.” Market Failure And The Economic Case For A Mandatory Disclosure System”.Virginia Law Review, vol. 70, 1984.

Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana Law Journal, vol. 71, 1996.

Downes, John dan Jordan Elliot Gooman, “ Dictionary of Finance and Investment Term “Diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo,1991.

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, Ridho Saiful Ashadi, dikutip Surabaya Pagi, 7 Juni 2006, isa, herinta).

Eisert, Edward G “ Legal Strategis for Avoiding Class Action Law Suit Against Mutual Funds”. Securities Regulation Law Journal. Vol.24, 1996.

---------- (en) BBC: Ahli geologis menentukan bahwa penyebab musibah adalah pengeboran Lapindo

Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.

Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth Edition, Addison Wesley Longman USA, 2001.

Goelzer, Daniel L. Esq.” Management’s Discussion and Analysis and Environmental Disclosure”.Preventive Law Reporter, Summer, 1995.

Grossfeld, Berhard.” The Strenght and Weakness of Comparative Law”.Oxford : Clarendon, Press, 1990.

Gilson, Ronald J.dan reiner H. Kraakman.” The Mechanisms of Market Efficiency”.Virginia Law Journal, vol. 24, 1997.

Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.

Hidayat, Ade, Marthen Selamet Susanto, dan Sri Unggul Azul Sjafrie.I.Putu Gede Ary Suta. “Menuju Pasar Modal Modern’. Jakarta : Yayasan SAD Satria Bhaktu, 2000.

-------------- http://www,google.com, sumber data dari artikel yang terkait.

----------- Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog.

----------- Holm, C. Muckraking in Java’s gas fields. Asia Times Online. 14 Juli 2006.

----------- Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog.

----------- Hamid, A. Bahaya Lumpur Lapindo. ICMI Online. 20 Juni 2006.

----------- Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, ibid.

----------- Hessen, R. Capitalism. The Concise Encyclopedia of Economics.

----------- Heilbroner, R. Socialism. The Concise Encyclopedia of Economics.

----------- Hardin, G. The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162 (1968): 1243-48.

Jalil, Sofyan.A.” Manipulation and Insider Trading”.makalah disampaikan pada “Pendidsikan dan Latihan Bagi Profesi Penunjang untuk Konsultan Hukum Pasar Modal”. Jakarta, 21 Juli 1997.

Jeffrey D. Snavely. “Centrak Bank v. First Intersyaye Bank” : Will the Death of the Salesman Stop the Selling?” University of Toledo Law Review (Vol.26, Spring 1995), hal. 695.and Frank H. Easterbrook dan Daniel R.Fischel, 1, The Economoc Structure of Corporate Law.(Cambridge, Massachusetts, London : Harvard University Press, 1996), hal.296-297.

Jawa Timur, Kaya Migas = Kaya Bencana, http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060730_lapindo_cu/

----------- JATAM, Dari Porong dengan Derita.

----------- Jawa Pos,Tgl2 Juni 2006.

----------- (id) Portal Informasi Korban Lapindo

----------- (id) Hot Mud Flow in East Java, blog kumpulan berita

----------- (id) Situs Pemerintah Kabupaten Sidoarjo

----------- (id) Kliping Lumpur Panas Lapindo Brantas

----------- (id) Kliping Ledakan Pipa Gas Pertamina oleh Lumpur Panas Lapindo, library.org

----------- (id) Sebuah alternatif penanganan lumpur panas lapindo

----------- (id) Jangan Lagi Mereka Ditinggalkan, Kompas 24 Maret 2007

----------- (id) Lumpur Panas yang Bikin Mulas, Kompas 24 Maret 2007

Konsepsi Hukum Adat adalah “dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual , dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsure kebersamaan “. Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hokum adat atas tanah, yang dalam kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat.

KertasPosisi WALHI Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas,http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/070707_lumpurlapindo_kp/

Karmel, Roberta S.” Is the Shingle Theory Dead”.Washington & Lee Law Review, vol 52, 1995.

Koesnadi Hardjasoemantri. “Hukum Tata Lingkungan. Edisi ke.7.Cet. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafe’I Antonio, “Apa dan Bagaimana Bank Islam”, PT.Dara Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, 1992., Kasmir, “ Bank dan Lembaga Keuangan lainnya”, Pt.Raja Grafindo, Jakarta, 1997.

-------------- Kompas edisi Senin , Tanggal19- 06 tahun 2006.

-----------Koran Tempo, 16 Juni 06.

-----------Kompas, 8 Juni 2006.

Lynn A. Stout, Op.cit, hal 615.lihat juga Marvin G. Pickholz dan Edwar B.Horahan III, “The SEC’s Version of the Efficient Market Theory and Its Impact on Securities Law Liabilities”,Washington and Lee Law Review.(Vo;.39, 1982).

------------ Lapindo Press Release, 15 Juni 2006.

Lumpur, Kesengajaan ataukelalaian?, http:// www.walhi. or.id/ kampanye/ cemar/ industri/060719_lumpur_li/

Marc I. Steinberg, I. Understanding Securities Law, Second Edition, (New York, San Fransisco : Matthew Bender & Co.Inc, (1996).

------------ Marcilinus, anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia.

N. Lapolwa dan Daniel S. Kuswandi, “ Akintansi Bank”, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia,Jakarta,1993.Pandu Suharto, “ Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat”, LPPI, Jakarta 1988.

Prof.DR.H.Zainuddi Ali, MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu,Hal. 2.

Prasetiamartati, B. Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang: Menilik Kasus Pulau Tambolongan, Sulawesi Selatan. INOVASI Vol.6/XVIII/Maret 2006.

Seminar Hukum adat dan Pembangunan Hukum Nasional. Lembaga Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Yogyakarta Tahun 1975 “ Hukum Adat adalah hokum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsure-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berdasarkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan “

Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan.

Soejono Soekanto, Mengenai Sosiologi Hukum, Bandung, PT. Citra Bakti, 1989.
Teguh Pudjo Mulyono, “Anlisis Laporan Keuangan untuk Perbankan”, Penerbit Djambatan , Jakarta, 1999.

---------- Surya, Tgl 10 Juni 2006, iit/ant.

---------- Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Pasal 1 angka 1 : “menyatakan : Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhlik lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya”.

----------- WALHI, SidoarjoSurabaya, Jawa Timur, tanggal 7 Juni 2006.

----------- Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006.

----------- Wikipedia Indonesia, Lapindo Brantas, dan lihat website BPMIGAS.

----------- www.detiknews.com.

----------- www.kompas.com.

----------- www.metrotvnews.com.

----------- www.walhi.or.id.

---------- www.antara.co.id.

---------- www.antara.co.id.

---------- www.indymedia.org.

----------- www.indymedia.org.

----------- Zallum, A.Q. 1988. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (terj.). Hizbut Tahrir.

UNDANG UNDANG No. 23 TAHUN 1997 TENTANG :

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAH MAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a.bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;

b.bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk
memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang­Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;

c.bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup
untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;

d.bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;

e.bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;

f.bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

DenganPersetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun