Mohon tunggu...
T M Farhan Algifari
T M Farhan Algifari Mohon Tunggu... Freelancer - Perenung Profesional

Partisan dalam Ideologi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menakar Potensi Gerakan Mahasiswa pada Pelantikan Presiden 2019

14 Oktober 2019   23:31 Diperbarui: 15 Oktober 2019   10:30 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa menyampaikan orasi di Depan Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019). KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Belakangan ini demokrasi Indonesia dihiasi dengan aksi massa yang masif dan sporadis. Momen tersebut seakan mengingatkan kita pada aksi besar-besaran yang terjadi pada Mei 1998. Boleh jadi kita mempertimbangkan gerakan pada September 2019 lalu sebagai catatan historis pergerakan mahasiswa Indonesia terbesar pascareformasi. 

Kesan tersebut rasa-rasanya tak berlebihan apabila kita melihat pada aspek kuantitas massa aksi yang demikian besarnya, sebagaimana yang terjadi pada angkatan 66, 74, dan 98. Meskipun kedalaman isu yang dimiliki oleh massa aksi barangkali tidak sedalam generasi-generasi sebelumnya, akan tetapi keberanian mereka patut diacungi jempol. 

Saya sendiri salah seorang yang ikut terlibat dalam gelombang aksi tersebut pada 24 September 2019, meski kemudian ditahan oleh aparat kepolisian selama tiga malam pasca-aksi.

Fase korporasi gerakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Gramsci mensyarakatkan hadirnya "intelektual organik" yang memantik semangat revolusioner pergerakan dan terlepas dari libido kekuasaan serta kepentingan politik apapun. Apabila kelompok intelektual organik mampu melampaui itu niscaya kesadaran masyarakat akan timbul dengan sendirinya. 

Akan tetapi yang terjadi di lapangan ternyata berbanding terbalik. Kemampuan mahasiswa mengelola dan mengorganisasi massa terbukti belum selesai. Alhasil kedalaman pengetahuan massa aksi perihal isu yang diperjuangkan sangatlah terbatas dan segmen masyarakat yang kemudian tergerak pun sangat mudah terbaca. 

Alih-alih membangun kesadaran, gerakan mahasiswa justru memunculkan kesan politis dan terlalu tergesa-gesa. Akibatnya tidak sedikit pihak yang kemudian memanfaatkan momentum tersebut dan mengotori kemurnian gerakan mahasiswa, yang diamini dan selaras dengan tindak tanduk para pimpinan BEM ketika sibuk menghiasi layar kaca ketimbang mengonsolidasikan gerakan secara matang. 

Pada beberapa momen, tuntutan mahasiswa tidak lagi relevan dan menunjukkan ketidaksiapan mereka dalam aksi jangka panjang. Agenda menggagalkan pelantikan presiden dan menurunkan Jokowi santer terdengar dalam beberapa momen selama aksi berlangsung. 

Fenomena tersebut menunjukkan kegagalan "elite" mahasiswa dalam mengonsolidasikan gerakan yang masif namun semestinya tetap terukur. Suara-suara sumbang tersebut jelas politik dan telah menggadaikan idealisme mahasiswa. 

Substansi gerakan telah dikaburkan oleh semangat-semangat revolusioner yang tidak bersandar pada hakikat kaum intelektual. Dengan riwayat kegagalan tersebut saya kira gerakan mahasiswa hari ini harus lebih mencermati sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia, kemudian merumuskan metode-metode baru sembari menentukan fokus isu yang lebih substansial. 

Semangat mahasiswa mengkritik jalannya negara akan jauh lebih baik apabila diimbangi dengan tujuan-tujuan yang terukur dan tetap dalam koridor konstitusi. Melalui gerakan September, baik yang saya amati di lapangan dan di ruang-ruang konsolidasi mahasiswa, rasa-rasanya sulit untuk mencapai fase terakhir yang dijelaskan oleh Gramsci, yakni mencapai hegemon sembari mewakili kelas-kelas bawah masyarakat yang butuh untuk disuarakan.

Untuk menghindari kesan-kesan politis dan aksi massa yang ditunggangi, maka saya kira tidak perlu ada gerakan pada saat Pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober nanti. Kembalilah ke barak-barak perjuangan kalian di kampus dan benahi kembali pola konsolidasi massa serta teknis aksi. 

Kemudian bangunlah jejaring mahasiswa tingkat nasional yang membumi dan tidak elitis. Memenuhi layar kaca dengan kedalaman substansial yang rendah bagi saya sangatlah memalukan dan memilukan. 

Sebab di satu sisi, kalian telah mengkhianati teman seperjuangan kalian yang barangkali tengah menghadapi situasi-situasi getir dan menyakitkan pasca-aksi, dan di sisi yang lain kalian mempertontonkan kelemahan gerakan mahasiswa dengan agenda-agenda yang masif tapi tidak terukur dan tidak substansial. 

Pepatah umum di kalangan mahasiswa, teori tanpa aksi adalah omong kosong sementara aksi tanpa teori tentu sia-sia. Tunjukkan pada masyarakat bahwa kalian kaum intelektual dan pengemban perubahan peradaban, bangun kesadaran masyarakat dengan tidak bertingkah seperti elite dan tidak memberi jarak sedikitpun antara mahasiswa dan masyarakat. 

Menyatu dengan masyarakat dan suarakanlah kegetiran mereka, bukan dengan meneriakkan agenda-agenda inkonstitusional yang tidak menyelesaikan masalah.

Pemerintah telah mengantisipasi gerakan masif pada saat pelantikan dengan menyiapkan puluhan ribu personel. Besar kemungkinan dari beberapa informasi yang saya dapat mahasiswa akan turun dengan jumlah yang besar. 

Akan tetapi tanpa dilengkapi perkakas intelektual yang mumpuni gerakan tersebut akan sia-sia dan terkesan hanya memberi panggung pada elite-elite mahasiswa demi kepentingan pribadi mereka yang kemudian mengatasnamakan rakyat Indonesia, entah rakyat yang mana.  

Selain itu gerakan tersebut sangatlah politis dan pasti ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang ingin meningkatkan posisi tawar mereka di hadapan pemerintah. 

Bangun kepercayaan masyarakat pada mahasiswa dengan tidak menggerakkan massa pada momentum politis yang memberikan pembenaran pada masyarakat untuk mencurigai gerakan mahasiswa tersebut. Ingatlah bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda sebagaimana disampaikan oleh Tan Malaka. 

Pulanglah ke kampus dan berhenti menjadi aktivis reaksioner, bangun fokus isu dan konsolidasikan secara matang. Mahasiswa dengan beragam keilmuan seharusnya mampu memberikan solusi-solusi alternatif yang relevan dan realistis.

Kokohkan barisan, dan jadikan organisasi kampus sebagai media kaderisasi yang berbasis intelektual, sehingga gerakan mahasiswa tidak lagi dipandang sebelah mata.

Hidup Mahasiswa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun