Mohon tunggu...
DR T. Mangaranap Sirait SHMH
DR T. Mangaranap Sirait SHMH Mohon Tunggu... Pengacara - Semua Diperbolehkan Asal Tidak Bertentangan Dengan Hukum

Hukum buatan manusia itu sama seperti manusia, ia dikandung, lahir, hidup, dan lalu mati ("human laws are born, live and die"), penulis berprofesi sebagai Advokat, dan Dosen Program Pascasarjana, Ketua Bidang Advokasi Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI), pada tahun 2015 menerima piagam dari International New York Times Megazine, serta menulis dibeberapa Jurnal Ilmiah Hukum terakreditasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harakiri Advokat Menggugat PERPU tentang Organisasi Kemasyarakatan

23 Agustus 2017   18:27 Diperbarui: 24 Agustus 2017   04:33 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis:  Adv. T. Mangaranap Sirait, SH.M.H.Dr (Cand)  (TiMeS Law Firm)

Perkembangan dan dinamika politik pasca terbitnya PERPU Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan telah menjadi salah satu topik pro dan kontra  yang membelah dunia profesi Advokat.

Jika ditelusuri secara historis, pada zaman Romawi kuno ketika Orang (natural person)  masih menjadi satu-satunya subjek hukum, masa di mana asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege dan asas legalitas belum dikenal. Artinya seseorang dapat dihukum walaupun tidak ada kesalahan menurut Undang-undang. Sehingga di masa tersebut  ada dikenal kejahatan yang dinamakan "kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang (criminal extra ordinaria) diantaranya yang terkenal "perbuatan jahat, durjana" (crimina stellionatus)yang tidak ditentukan bentuknya berupa apa, yang memungkinkan seorang penguasa untuk menggunakan hukum  secara sewenang-wenang menurut kehendak  hatinya atas seseorang.

 Masa Romawi kuno inilah profesi Advokat  telah dikenal dan digelari profesi yang mulia atau "Officium Nobile"sedangkan terhadap pengembannya disebut sebagai "Orator" atau secara tehnis nama yang diberikan  terhadap orang yang berpraktik di  pengadilan sebagai "Patroni Causarum" atau singkatnya "Patroni" yang kini dikenal sebagai Advokat. Advokat disebut "Officium Nobile"karena kerelaannya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan demi tegaknya hukum dan keadilan serta melawan kesewenang-wenangan atas penerapan ketentuan "kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang" (criminal extra ordinaria) oleh penguasa, walaupun tanpa mengharapkan imbalan dari masyarakat yang sedang menghadapi masalah hukum tersebut.

Kerelaan seorang Advokat terlibat menegakkan keadilan dan menolak kesemena-menaan "criminal extra ordinaria"walau tanpa mengharapkan imbalan (prodeo), telah mengilhami William Shakespeare's dengan quote nya yang kontroversial pada Henry IV Part II "The first thing we do, let's kill all the lawyers...", yang kurang lebih maksudnya, bahwa hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang penguasa zolim agar bebas melakukan perbuatan melawan hukum dan melawan konstitusi sehingga dapat melanggengkan jalan menuju kekuasaan yang otoriter adalah dengan  "membunuh" semua Advokat.

Paradoks dengan hakikat Advokat mula-mula yang selalu siap menentang penguasa yang zolim, karena menghukum orang tanpa adanya asas legalitas. Kini dunia Advokat sudah mulai bias karena segelintir Advokat Politisi yang telah  salah kaprah dengan menggugat pemerintah karena berusaha  melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semakin meneguhkan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 guna dapat menjadi aturan main hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum dan menegakkan keadilan yang imparsial (justice as fairness) tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Padahal Pancasila adalah merupakan sebuah postulat (yang harus diakui ada walau tidak kasat mata) dan  merupakan "asas" utama (grundnorm) dalam Konstitusi Indonesia. Di dalam hukum   "asas" disamakan dengan "jantungnya" hukum untuk mana berarti Pancasila merupakan detak "jantung" nya hukum Indonesia. Jadi kalau ada Advokat Indonesia yang menggugat asas (jantung)-nya hukum Indonesia yaitu Pancasila, bukankah Advokat tersebut telah melakukan "harakiri"  (bunuh diri) karena telah menusuk jantungnya hukum sendiri, dan bukankah perbuatan harakiri hukum adalah merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas hukum karena atas landasan hukum yang mana lagi Advokat tersebut menggugat karena jantungnya hukum sendiri sudah digugat.

Menurut penulis, Advokat tersebut lupa jika seandainya Indonesia pun menjadi bubar maka seluruh Advokat Indonesia tidak lagi menjadi "Officium Nobile" (profesi mulia) tetapi telah menjadi "Jobless Nobile"(pengganguran yang mulia) karena menurut Pasal 5 ayat (2)  Undang-undang Advokat wilayah kerja Advokat Indonesia adalah meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. Hilangnya Indonesia dari peta dunia sama seperti ketika negara Uni Soviet hilang dari peta dunia, maka Advokat Indonesia telah pensiun massal dan mengemban jabatan baru "Jobless Nobile" karena telah harakiri.

Persoalan-persoalan seperti Advokat seperti di atas ini sebenarnya sudah diatur didalam Kode Etik Advokat Indonesia. Memang adalah benar bahwa Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataaan  dalam membela perkara, dan adalah juga benar bahwa Advokat bebas dalam menjalankan tugas dan profesinya, serta adalah benar  advokat tidak identik dengan kliennya maka tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata, tetapi semua previlege tersebut bukan tanpa batas, dan harus dengan tetap berpegang teguh dengan kode etik profesi dan Aturan Perundang-undangan.

Menerima surat kuasa dari klien dan memberi keyakinan (mengiming-imingi) dapat menggugat asas negara Pancasila di Pengadilan, adalah merupakan perbuatan malpraktik seorang Advokat yang dapat digugat ganti rugi secara Perdata oleh kliennya. Seharusnya  seorang Advokat dalam kapasitas sebagai penasehat hukum seharusnya wajib menasehati dan memberi tahu kliennya agar keberadaan Ormasnya harus sesuai dengan aturan hukum Indonesia, dan  seyogyanya pula seorang advokat yang Officium Nobile harus menolak untuk menggugat asas negara dengan alasan bertentangan dengan  Kepribadian Advokat (Pasal 2) serta  Hati Nurani (Pasal 3 huruf a dan huruf g) Kode Etik Advokat Indonesia, karena Advokat telah disumpah untuk menjunjung tinggi hukum UUDNRI 1945, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya. Barangkali seandainya  jika hal tersebut dilakukan Advokat, maka setidaknya kliennya tersebut telah diberi kesempatan untuk mengakui kekhilafannya (plead quilty) kepada pemerintah, dan masih sempat untuk menyelaraskan AD/ART dan keberadaan Ormasnya supaya sesuai dengan asas negara Pancasila dan NKRI dan tidak keburu dibubarkan oleh negara.

Logika hukum inilah yang menjadi nalar berpikir Advokat yang pro PERPU Nomor 2/2017 yang mendaftarkan diri menjadi "Pihak Terkait" atas gugatan Judicial Review PERPU Nomor 2 Tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi, sehingga mati-matian mengawal asas negara Pancasila dan N.K.R.I., karena selain membela Pancasila sebagai jantungnya hukum Indonesia, juga untuk menjaga marwah profesi Advokat agar tetap menjadi  profesi yang "Officium Nobile" dengan senantiasa  tetap berkarya di bumi persada membela Pancasila dibawah naungan ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun