Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mau Jadi Kaya? Pikirkan Telebih Dulu secara Matang

24 Mei 2015   20:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14324725381220513361

[caption id="attachment_385287" align="aligncenter" width="512" caption="uang ibarat pisau bermata dua/tjiptadinata effendi"][/caption]

Uang ibarat pisau bermata dua. bila tidak arif mengunakannya, akan melukai diri sendiri!

Sejak dari hidup morat-marit, makan siang tak jarang harus ngebon, tak pernah sekali juga berdoa minta kaya. Karena saya menyaksikan orang-orang kaya tidak pernah puas dengan uang. Bahkan menjadikan uang segala-galanya dalam hidupnya.

Saya hanya berdoa, mohon diberikan hidup berkecukupan. Setiap kali ada kesempatan duduk bersama anggota keluarga di rumah, hal yang satu ini, senantiasa saya ulangi. Untuk mengingatkan kembali agar jangan pernah berdoa minta kaya.



Cukup Itu Lebih daripada Kaya

Orang kaya selalu merasa haus akan uang. Bagaikan orang yang minum air laut, semakin banyak diminum, semakin merasakan dahaga. Sebaliknya, orang yang hidupnya berkecukupan tak pernah merasakan kekurangan.

Makanya ketika dari hidup yang morat-marit kemudian berubah menjadi hidup yang berkecukupan, kami tidak pernah mengejar-ngejar uang. Tiap minggu kami sekeluarga melakukan rekreasi sekeluarga. Kami syukuri dan nikmati apa yang ada. Ternyata hal ini memberikan efek ganda yang sangat positif dalam kehidupan berkeluarga, termasuk dalam pergaulan dengan sahabat-sahabat kami.

Saya banyak belajar dari pengalaman hidup sendiri dan juga pengalaman hidup orang lain. Bahwa harta itu bagaikan pisau bermata dua, yang kedua sisinya sama-sama tajam. Bila tidak arif memaknainya, uang dapat mendatangkan petaka dalam hubungan kekeluargaan.

Contoh Kehidupan

Teman saya, sebelum kaya, hidup sangat harmonis bersama keluarganya. Namun setelah kehidupan mereka berubah, suasana dalam rumah tangganya juga mulai berubah. Suami tidak lagi pernah mengantarkan istri ke pasar, tapi sopirlah yang mendampingi sang istri.

Istri tak lagi merasa perlu menyediakan secangkir kopi setiap pagi, seperti biasanya, tapi sudah mengalihtugaskannya kepada pembantu. Anak-anak yang biasanya diantarkan oleh ibu mereka, kini cukup diantarkan oleh pembantu. Mandi, makan, dan belajar ditemani pembantu. Tanpa sadar, mereka sudah terjebak oleh kehidupan yang keliru dan berbahaya.

Hanya butuh waktu tidak sampai setahun, istri lari dengan sang sopir karena suami sama sekali tidak lagi memperhatikan istrinya. Ternyata uang bukan lagi menjadi pelengkap kebahagiaan rumah tangga, tapi sebaliknya menjadi virus yang menghancurkan keharmonisan rumah tangga mereka.



Sudah Terlambat Untuk Disesali

Ketika teman saya menceritakan nasibnya kepada saya waktu itu, saya tidak dapat memberikan solusi apa pun. Karena sudah terlambat untuk disesali. Istri sudah lari dengan sopir pribadi, yang jauh lebih muda.

Semua orang butuh uang, tapi bila tidak hati-hati memanfaatkannya, ia akan melukai diri kita secara amat dalam. Dan ketika sudah terluka, penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi.



Pengalaman adalah guru yang terbaik.

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Tetapi kita perlu belajar dari kegagalan pengalaman hidup orang lain agar jangan menunggu hingga kita mengalami hal yang sama.

Jangan hanya belajar dari kesuksesan orang lain, tetapi belajarlah juga dari kegagalan orang lain maka akan menghadirkan kearifan hidup sehingga kita mampu memaknai arti uang dalam kehidupan kita

Hidup cuma sekali. Bila kita tidak lulus dalam ujian hidup, tidak ada lagi kesempatan kedua.

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengurui siapa pun, melainkan sekedar berbagi kisah kisah hidup untuk menerapkan sharing and connecting.

Musim dingin, 24 Mei 2015

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun