Zona Kenyamanan Adalah Perangkap Tak Kasat Mata
Setiap insan berhak menenun makna hidupnya sendiri.
Tak seorang pun layak menggunting benang harapan dari hidup orang lain.
Namun, berbagi secuil kisah dari perjalanan hidup yang pernah ditempuh,
bisa jadi lentera bagi jiwa-jiwa muda yang tengah mencari arah.
Tak perlu jadi orang besar untuk membagikan pelajaran.
Tak perlu gelar, sorot kamera, atau ribuan pengikut.
Cukup pengalaman, cukup kejujuran,
dan kerendahan hati untuk berkata:
“Saya pernah jatuh, namun tak tinggal di bawah.”
Satu hal yang pasti:
Orang tua pernah muda.
Tapi orang muda, belum pernah tua.
Ali, Sahabat Lama yang Masih Berjualan Es Cendol
Namanya Ali (bukan nama sebenarnya.)
Kami dulu sama-sama merangkak di lorong sempit kehidupan,
di sebuah pasar kecil bernama Tanah Kongsi,
tempat mimpi digantungkan setinggi atap seng, dan harapan dibayar dengan keringat setiap pagi.
Ali berjualan lontong, pecel, dan es cendol.
Aku, hanya bermodalkan kelapa parut dan semangat tak hancur.
Kami saling sapa di tengah debu,
berteman derita, bersaudara dalam diam.
Lalu waktu berjalan.
Kami pindah. Ia tetap di sana.
Tahun lalu, bersama istri tercinta,
kami kembali ke tempat itu,napak tilas luka yang sudah sembuh.
Dan di sudut yang sama,
di balik gerobak tua yang kini mulai lapuk,
Ali masih di sana.
Tersenyum, menawarkan segelas cendol dengan tangan yang bergetar pelan.
Bukan profesinya yang membuat tertegun,
tapi pertanyaannya:
“Bagaimana ia bertahan hidup dengan penghasilan 20 ribu rupiah per hari?”
Jika sekadar membunuh waktu, mungkin tak mengapa.
Tapi jika itu sandaran hidup,
maka hidupnya pasti sedang berjalan di atas tali yang rapuh.