Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Kompasianer of the Year 2014 - The First Maestro Kompasiana

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Biarkanlah Orang Menertawakan Kita

3 Mei 2025   04:28 Diperbarui: 3 Mei 2025   04:28 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi 

Karena Pemenang Sejati Adalah Yang Tertawa Paling Akhir 

Kita semuanya sudah pernah membaca ataupun mendengar peribahasa:"Pemenang Sejati Adalah Yang Tertawa Paling Akhir"

Kalimat ini bukan sekadar kata-kata indah, melainkan cermin dari kehidupan yang penuh perjuangan. Ia mengingatkan kita untuk tidak larut dalam euforia kemenangan sesaat, apalagi sampai terjebak dalam kesombongan yang membutakan hati.

Tak ada salahnya merasa bangga atas pencapaian, sekecil apa pun itu. Menang lomba tingkat RT atau sekadar mampu menaklukkan rasa malas hari ini, tetap patut disyukuri. Tapi ingatlah, hidup bukanlah satu perlombaan singkat, melainkan perjalanan panjang yang terus menguji daya juang dan keteguhan hati.

Hidup adalah Arena Perjuangan

Dalam refleksi yang lebih dalam, hidup ini sejatinya adalah ajang “Struggle for life and struggle for eternal life”—perjuangan untuk hidup, dan perjuangan untuk hidup yang kekal. Di setiap langkahnya, kita berkompetisi. Mungkin bukan dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri—melawan rasa malas, menundukkan ego, menyingkirkan keputusasaan.

Kemenangan kecil sering kali meninabobokan. Kita merasa sudah sampai garis akhir, padahal baru langkah awal. Jangan biarkan diri terlena oleh tepuk tangan, karena dalam keheningan sesudahnya, masih banyak babak kehidupan yang harus diperjuangkan.

Jangan Terbuai Kemenangan yang Sepotong-sepotong

Kita tahu, tanpa perlu membuka Google, bahwa banyak juara di masa mudanya berakhir dalam kesepian dan kesulitan saat usia senja. Ada mantan atlet nasional yang hidup sebagai buruh harian, mantan juara dunia yang kini menjadi pengantar barang di pasar. Bukan karena mereka tak hebat, tetapi karena mereka pernah mengira piala adalah akhir dari segalanya.

Saya teringat seorang juara dunia lari marathon yang saya kenal ketika tinggal di Medan. Dulu dielu-elukan, disanjung, dielap sorotan kamera. Tapi di masa pensiunnya, ia harus menghidupi keluarga dengan menjadi loper koran. Di rak rumahnya, piala-piala berjejer rapi—namun di dapur, kadang asap pun tak ada. Ironi yang menyayat, namun sekaligus menjadi cermin bahwa kemenangan sejati tak hanya diukur dari medali, tetapi dari bagaimana kita melanjutkan hidup setelah sorotan itu padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun