Puisi ini kutulis sebagai ungkapan rasa cintaku yang terdalam kepada Roselina, istriku tercinta. Enam puluh tahun kami jalani kehidupan bersama
Bukan hanya dalam suka, tapi juga dalam getir dan derita. Dalam sakit, dalam sempitnya kehidupan, dalam perjuangan demi anak-anak kami  Belahan jiwaku tetap di sampingku. Dan hari ini, aku ingin dunia tahu: cintaku padanya tidak akan pernah pudar, bahkan saat waktu seakan akan berhenti berputar.
Puisi ini untukmu, sayangku...
Enam puluh tahun telah kita jalani bersama,
mengarungi samudra kehidupan
yang diawali oleh kegetiran,
serta mereguk empedu nasib di cawan yang sama.
Dalam derasnya hujan ujian,
kita berteduh di bawah payung kesetiaan
yang tak pernah robek oleh waktu.
Aku ingat,
saat tubuhku terbaring sekarat—
di RS Yos Sudarso di Padang,
lalu menyusul tiga kali operasi berat
di Mount Elizabeth dan Gleneagles,
semangatku nyaris musnah,
tertelan kesakitan yang tak terperi.
Ibarat lampu kehabisan minyak,
pelita hidupku hampir padam...
Namun, saat itu,
kau peluk tubuhku yang lemah,
kau bisikkan lirih ke telingaku:
"Sayang, aku tidak mungkin hidup tanpa dirimu..."
Kalimat sederhana,
namun mengguncang langit jiwaku,
menyulut bara yang hampir padam,
menjadi api cinta yang hidup kembali.
Sayangku....
kau bukan hanya pendamping,
kau adalah penopang saat aku tak mampu berdiri,
penjaga cahaya ketika malam terlalu gelap,
doamu adalah nyanyian penyembuh
yang menembus dinding-dinding rumah sakit.
Kau telah lulus semua ujian,
bukan hanya ujian kesetiaan sebagai seorang istri,
tapi sebagai pahlawan dalam kisah hidupku.
Cintamu tak bersyarat,
kesetiaanmu tak mengenal jeda.
Sayangku,
seluruh hidupku akan kupersembahkan untukmu,
bukan sebagai balasan,
tapi sebagai persembahan cinta
yang tak akan pernah selesai kutulis.
Aku mencintaimu, sayangku
dengan segenap hati dan jiwa ragaku.
Kini dan selamanya
Belahan jiwamu
Tjiptadinata EffendiÂ