Asal Jangan Pernah MenyerahÂ
Hidup ini seperti roda yang berputar. Kadang kita berada di atas, kadang di bawah. Saya dan istri telah merasakan pahitnya hidup, jatuh ke titik terendah, bahkan terpuruk tanpa tahu bagaimana cara bangkit. Namun, satu hal yang selalu kami pegang teguh: kami tidak boleh menyerah.
Setelah menikah, kami mencoba mengadu nasib di Medan, berharap bisa membangun masa depan yang lebih baik. Kami menumpang di rumah tante dan saya mencoba menjadi pedagang antar kota Padang-Medan.Â
Namun, tanpa pengalaman, bisnis itu hancur sebelum enam bulan. Modal habis, bahkan kami berutang kepada tante. Rasa malu menyelimuti kami, apalagi setiap hari melihat wajah tante yang tetap baik hati, meski kami tak mampu membayar utang.
Agar tidak menjadi beban, kami memutuskan bekerja di pabrik karet di pinggiran kota Medan. Hidup di perumahan buruh yang berdampingan dengan hutan, di dalam kamar sempit berukuran 2x2 meter. Setiap pagi harus antre mandi, makan seadanya, dan bekerja dari pagi hingga petang. Tidak ada kenyamanan, tidak ada kepastian.
Belum sebulan bekerja, saya jatuh sakit. Malaria menyerang tubuh saya, panas tinggi, menggigil hebat, hingga saya merasa ajal begitu dekat. Istri saya menangis di sudut kamar, tak tahu harus berbuat apa. Kami tidak punya cukup uang untuk berobat. Malam-malam yang panjang itu kami lalui dengan doa dan harapan, meski entah kepada siapa harus meminta pertolongan.
Dua tahun kami bertahan di sana, tetapi tidak ada perubahan. Gaji kecil, biaya hidup tinggi, dan kami tidak punya tabungan. Akhirnya, dengan hati berat, kami memutuskan pulang ke Padang. Di on sana, kami mencoba berdagang kelapa parut di Pasar Tanah Kongsi. Setiap hari, sebelum matahari terbit, kami sudah bangun untuk memarut kelapa, menyiapkan dagangan, dan berjuang demi sesuap nasi.
Saat putra pertama kami lahir, seharusnya itu menjadi momen bahagia. Tapi bagi kami, itu adalah momen penuh ketakutan. Kami tidak punya uang untuk biaya persalinan, tidak ada persiapan apa pun. Saya terpaksa menjual cincin kawin, satu-satunya benda berharga yang tersisa. Hati saya hancur, tetapi saya tidak punya pilihan lain.
Bertahun-tahun kami hidup dalam kepahitan. Air mata menjadi teman setia kami. Ada hari-hari di mana kami hanya bisa makan sekali sehari. Ada saat di mana saya berpikir, apakah ini takdir kami?
 Apakah kami akan selamanya hidup dalam kesulitan? Namun, di tengah semua itu, kami tidak pernah kehilangan harapan. Kami terus berjuang, terus mencari jalan, hingga akhirnya titik balik kehidupan itu datang melalui sahabat saya Samsuar