Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengumbar Kata"Takdir" Menutup Jalan untuk Mengubah Nasib

25 Mei 2021   08:42 Diperbarui: 25 Mei 2021   09:30 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak Lulus Ujian Dibilang :"Sudah Takdir "

"Sudah belajar setengah mati dari siang sampai larut malam,tapi tetap tidak lulus. Sudah takdir mau apa lagi?" Di PHK entah karena apa,juga disebut sebagai "sudah takdir"  Dan orang orang yang hidup dalam kemiskinan dan penderitaan,juga selalu menggunakan kalimat sakti ini,yakni :"sudah takdir saya begini,mau apa lagi?" Dalam arti kata lain "kalau sudah takdir,berarti bukan salah saya" .Sehingga secara sadar atau tidak,orang telah mendegradasi akan arti dan makna dari takdir 

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Antara Takdir dan Nasib Hanya Beda Tipis ? 

Kalau ada istilah bahwa tempe di era kini sudah setipis kartu ATM,maka arti dan makna antara :"Takdir" dan "Nasib" juga agaknya beda tipis,melebihi tipisnya kartu ATM . Benarkah demikian ? Sejujurnya saya tidak berani menjawab,karena saya bukan dalam kapasitas mengajarkan tentang bahasa langit. Miskin itu Nasib atau Takdir? Pertanyaan sangat sederhana, namun jujur saya tidak berani menjawabnya.Biarlah orang orang yang ahli dibidang agama,yang mungkin mengetahui rahasia dari sebuah takdir. Sedangkan saya tidak mungkin mengetahuinya, karena tidak mendalami ilmu agama.

Kalau menurut saya pribadi,takdir itu adalah bahwa di dunia ini tak seorangpun dapat memilih,akan dilahirkan sebagai bangsa apa  dan dimana? Serta tidak mustahil juga memilih dalam keluarga mana kita ingin dilahirkan. Inilah namanya takdir. Sedangkan untuk menentukan jalan hidup ,pilihan ada ditangan kita masing masing. Salah memilih jalan hidup,maka hal ini bukan takdir,melainkan nasib akibat perbuatan kita sendiri. 

Your Destiny is in your hands and my destiny is in my hands

Kata orang:” your destiny is in your hand”, nasib anda ada ditangan anda.Karena itu tak seorangpun dapat mengubah nasib anda,kecuali diri sendiri. Kalau falsafah hidup ini benar, maka berarti orang miskin adalah karena kesalahannya ,tidak mau berupaya mengubah nasib? Tidak tega saya mengatakan demikian. 

Karena itu daripada membahas hal hal yang bersifat sensitive dan berpotensial menyinggung ,bahkan melukai perasaan orang lain,maka saya fokus menuliskan sekilas kisah perjalanan hidup kami. Tentu saja tidak akan mengulangi cerita yang itu ke itu juga,karena hanya akan membuat orang yang membaca merasa mual.

Singkatnya,kami sudah merasakan akan arti hidup menderita dalam arti kata yang sesungguhnya. Karena kata :"menderita" juga memiliki tafsiran masing masing, Bagi orang kaya, bila salah satu dari kapalnya tenggelam,walaupun masih ada puluhan kapal lain,tapi bagi dirinya mungkin sudah dianggap sebuah penderitaan.Tapi menderita yang saya maksudkan adalah bahwa hanya untuk sebungkus nasi ramas,saya sering kali harus berhutang Dan saat anak kami sakit,terpaksa menjual cincin kawin dan bahkan jas yang dipakai sewaktu nikah,juga saya lego di pasar loak. 

Jam 3.00 subuh isteri saya sudah harus bangun dan sambil membawa putra kami yang belum genap 4 tahun,naik beca menuju ke stasiun kereta api,untuk melanjutkan perjalanan ke Pariaman,untuk membeli kelapa. Karena pada waktu itu,disamping mengajar,dengan gaji 16 ribu rupiah perbulan,saya juga jualan kelapa  

Walaupun sudah kerja keras selama bertahun tahun,nasib kami masih belum berubah.  Tapi saya tidak pernah anggap ini sebagai takdir kami,tetapi sebagai sebuah kesalahan dalam konsep berpikir.Baru sadar,bahwa:"Kerja keras hanya dengan otot,hanya akan menghasilkan seorang kuli sepanjang hayat." Maka sejak saat itu saya ubah sikap mental dan persepsi tentang hidup dan bersyukur kepada Tuhan,akhirnya menemukan titik balik atau turning point kehidupan dan nasib kamipun berubah total

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun