Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hidup dalam Kemuliaan Anak Istri Terlantar, untuk Apa?

15 Maret 2021   10:25 Diperbarui: 15 Maret 2021   11:20 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto bersama murid SD /dokumentasi pribadi

Mengapa Saya Resign Sebagai Guru 

Belakangan ini hampir setiap hari berjejeran aneka ragam tulisan yang hebat hebat dan mantap ,yang berkisar sekitar perlu tidaknya  resign dari pekerjaan. Hidup itu memang terkadang menghadapkan kita pada pilhan yang teramat sulit,memutuskan resign sedangkan pekerjaan pengganti belum diperoleh . Atau memutuskan :"Yang penting resign dulu,baru mencari lowongan pekerjaaan?" 

Setiap orang berhak memutuskan hidup semacam apa yang ingin dijalani kelak. Dan salah atau benar,tak seorangpun di dunia ini yang berhak melakukan intervensi dalam kehidupan seseorang. Karena setiap orang wajib memikul tanggung jawab masing masing. 

Dan bagi yang sudah berkeluarga,tanggung jawab yang dipikulkan pada pundaknya bukan hanya sebatas tanggung jawab pribadi,melainkan sekaligus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup orang orang yang berada dalam tanggung jawabnya.

Dalam situasi semacam inilah saya dihadapkan pada pilihan :"Tetap mengajar ,dengan catatan kehidupan anak isteri akan morat marit " Atau resign dan berani mengambil resiko,kemungkinan terjadi yang lebih buruk lagi,yakni tidak mendapatkan pekerjaan.

Pada waktu itu ,yakni ditahun 1967-1968 gaji saya sebagai guru di SD St.Fransiskus RK 2 di kota Padang adalah Rp.16.000 (baca: Enam belas ribu rupiah) ditambah yang namanya :"Tunjangan In Natura " sebanyak 9 kilogram beras. Itulah semuanya. Dengan penghasilan sebesar ini,saya harus menghidupkan anak isteri saya. 

Walaupun isteri saya juga ikut mengajar dan saya sendiri mencari pekerjaan tambahan,tetap saja tidak mampu memenuhi hidup sederhana. Karena harus membayar sewa rumah,listerik dan air leding. Bahkan saat putra kami sakit dan kejang kejang,tidak ada uang untuk berobat,hingga cincin kawin di jual. 

Hidup sebagai seorang guru ,sungguh merupakan posisi terhormat. Setiap kali ada pertemuan dengan para orang tua dan wali murid,sebagai seorang guru,saya sangat dihormati.  Menjadi guru adalah "menjadi Pahlawan tanpa tanda jasa" Saya percaya akan hal itu,karena sudah menjalaninya.

Kalau di era kini,gaji guru mencapai hampir sepuluh juta rupiah,tentu saja tidak perlu lagi resign karena sudah memiliki penghasilan yang mantap dan bisa hidup berkecukupan. Apalagi dengan adanya program Sertifikasi Guru demi untuk meningkatkan penghasilan seorang guru.

Saatnya Memilih:"Hidup dalam kemuliaan atau menyelamatkan hidup anak isteri"

Berpakaian necis,disambut ucapan :"Selamat pagi pak guru" dan dihormati para orang tua dan wali murid,memang menempatkan posisi seorang guru menjadi terhormat. Pokoknya menjadi guru adalah hidup dalam kemuliaan. Tapi saya berpikir:' Apalah artinya mengejar kemuliaan pribadi dengan mengabaikan tugas dan kewajiban terhadap anak istri?" Karena itu saya memutuskan untuk resign dan kerja serabutan,hingga suatu hari menemukan turning point dalam hidup saya dan menjadi pengusaha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun