Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Arti :"Too Good to be True"

5 Desember 2020   05:23 Diperbarui: 26 April 2021   13:39 5012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ket.foto : makan bersama 3 generasi,anak mantu dan cucu cucu, serta mantu mantu cucu/dokpri

Dalam Sebuah Kehidupan Nyata

"Selamat pagi pak Tjip. Tulisan pak Tjip tentang hubungan dengan anak ,mantu dan cucu cucu,kalau boleh saya sampaikan :"too good to be true".Antara lain dituliskan bahwa :

  • Diajak jalan jalan keluar negeri oleh putra  dan putri
  • Dikasih hadiah Nissan X Trail baru pada ulang tahun ke 77 
  • Dapat transfer dana dari puteranya baik yang di Australia ,maupun yang domisili di Jakarta
  • Berkali kali diundang makan enak di restoran mewah
  • Disayangi anak mantu dan cucu cucu,serta mantu cucu

Mohon maaf,membaca semua tulisan ini, kalau boleh saya sampaikan:"too good to be true" . Kebetulan ayah saya,salah seorang pembaca setia tulisan pak Tjip. Dan hampir setiap kali bertemu,saya dinyinyiran cerita tentang  betapa enaknya hidup pak Tjip disayangi anak anak. Kami tampak buruk dihadapan orang tua kami,terutama ayah saya. Dan saya yakin,bukan hanya saya yang merasakan hal ini. Banyak orang tua yang menjadikan tulisan pak Tjip sebagai takaran dalam menilai kami anak anak nya.Mungkin pak Tjip tidak menyadari hal ini. Mohon agar tulisannya dapat berdasarkan realitas yang sesungguhnya. Terima kasih "

Ket.foto: isteri,anak,mantu dan cucu,makan bersama/dokpri
Ket.foto: isteri,anak,mantu dan cucu,makan bersama/dokpri

Sebuah Renungan Pagi

Pesan senada ,bukanlah hal pertama yang saya terima. Beberapa waktu yang lalu,saya juga sudah menerima saran dan kritikan,agar jangan menulis hal hal yang "too good to be true".  Saya tidak marah dan tidak tersinggung,karena yang saya tulis memang merupakan sebuah kenyataan yang saya alami dan bukan sebuah fiksi. 

Kalau tulisan humor,maka saya masukan kedalam kanal humor. Tapi karena memang merupakan cuplikan biografi kehidupan kami,maka saya tulis di kanal Humaniora. Saya introspeksi diri. Apakah sebaiknya lain kali saya tidak perlu mengungkapkan luapan rasa bahagia melalui tulisan saya,karena ternyata dapat menyudutkan orang lain ? 

Padahal saya tidak hanya menuliskan yang :"good good saja" ,tapi juga menuliskan tentang betapa menderitanya kami hidup di pasar Tanah Kongsi di Padang,sehingga untuk sebungkus nasi rames,tak jarang saya harus berhutang"

Dan saya  mencoba bertanya kedalam diri sendiri,benarkah yang saya tuliskan adalah sesuatu yang :"too good to be true?" Tapi suara hari saya mengatakan "tidak ada ".Yang saya tuliskan adalah cuplikan dari perjalanan hidup kami,yang baik dan yang buruk. 

Saat hidup menderita dan saat merasakan kebahagiaan di hari tua,bersama anak mantu dan cucu cucu,serta mantu mantu cucu. Saya masih mencoba merenungkan,agar jangan sampai saya menjadi orang yang tidak tahu bertenggang rasa ,terhadap perasaan orang lain,yang mungkin hidupnya belum bahagia ?

Hanya sebuah renungan kecil di akhir pekan,yakni bagaimana caranya menulis,agar jangan sampai too good to be true?

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun