Menyadarkan Betapa Rapuhnya Kita Padahal Dikaruniai Tubuh Yang Lengkap
Untuk dapat berlaku jujur pada keluarga dan orang lain, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah jujur pada diri sendiri. Karena adalah sesuatu yang mustahil kita dapat berlaku jujur pada orang lain, bila terhadap diri sendiri saja tidak bisa jujur.Â
Nah, salah satu sisi kejujuran adalah mengakui dalam hati, betapa seringnya kita berkeluh kesah hanya karena keinginan hati kita tidak terpenuhi. Maunya kita, apapun yang kita senangi maka terjadilah sesuai maunya kita.
Tanpa sadar kita sering memper-Tuhan-kan diri, padahal seharusnya "not my will should be done, but thy will be done". Bukan mauku yang terjadi,tapi kehendak-Mu ya Tuhan". Setidaknya inilah sisi gelap pribadi saya .
Beberapa tahun lalu, saya dan istri berkunjung ke Vietnam. Negeri yang dulu pernah berjibaku perang melawan Amerika.
Bukan hanya rumah dan harta benda mereka yang hancur lebur, tapi tubuh fisik dan batin mereka terhempas dan tercabik-cabik.Â
Ada yang kedua kakinya buntung dan mata tinggal sebelah, ada yang tangannya tersisa satu dan kedua kakinya sudah lama terkubur bersama ribuan orang lainnya.Â
Saat memasuki ruang kerja para seniman ini, sungguh saya sama sekali tidak menyangka bahwa semua yang ada disana adalah kaum difabel. Mereka bekerja dengan tekun dan sekali menyapa dengan senyum tulus.Â
Baru sadar,setelah berbicara langsung dan menyaksikan betapa fisik mereka hanya tersisa 2/3 bagian.
Seperti Paul yang kedua kakinya buntung dan sebelah bola matanya diganti dengan bola sintetis. Juga Laura, rekan kerjanya yang tak berbeda nasibnya. Ternyata semua pekerja seni disana adalah kaum difabel.