Bertahun-tahun sebelumnya, saya pernah menceritakan impian untuk mengelilingi Nusantara, dari Sabang hingga Merauke sambil mengajar.
Maka setelah istri saya sudah mendapatkan impiannya menjadi wanita karier, bahkan menjadi top three di perusahaan, saya ingatkan kepada istri akan impian saya tersebut yang belum terpenuhi.
Istri saya terdiam cukup lama, walaupun saya tidak memberikan ultimatum dalam bentuk apapun. Tapi satu kalimat dari saya, "Kapan kita bisa bersama-sama mengelilingi Indonesia?", ternyata sudah cukup untuk membuatnya gundah.
Sudah lewat tengah malam, istri saya masih duduk termangu di keheningan malam yang membisu. Dipandanginya satu persatu piagam penghargaan yang terpajang di dinding ruang tamu.Â
Trofi beraneka ragam di atas rak buku, semuanya diperoleh berkat hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Dan kini tiba saatnya ia harus meninggalkan semuanya itu.Â
Walaupun Lina, istri saya, sudah menduga bahwa hari itu akan tiba, tapi ketika saya menyampaikan harapan itu, tetap membuatnya tampak galau.
Satu Bulan Sudah Berlalu
Waktu satu bulan itu sudah lewat. Ia sudah harus memberikan suatu keputusan, walaupun saya tidak memberikan "deadline".
Pagi itu Lina duduk di depan saya dan berkata dengan lirih, "Sayang, hari ini saya akan pamitan dari perusahaan dan saya sudah mempersiapkan surat pengunduran diri."
"Bagi saya, kebersamaan kita adalah kebahagiaan terbesar, jauh melampaui segala kemudahan yang diperoleh dari perusahaan. Saya ikhlas meninggalkan semuanya agar kita dapat selalu bersama-sama."Â
Saya berdiri, memeluknya erat-erat, dan selanjutnya tentu tidak perlu saya ceritakan di sini.
Wanita yang sudah mendampingi saya selama puluhan tahun ini telah lulus dalam ujian hidup. Sebebal apapun hati seorang suami, mustahil akan tega mengkhianati cinta yang begitu tulus dari seorang istri.
Catatan: Cuplikan perjalanan hidup kami berdua, semoga ada manfaatnya bagi pasangan muda.
Tjiptadinata Effendi