Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Hiraukan Stempel "Takut Istri"

28 November 2019   05:24 Diperbarui: 28 November 2019   05:38 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa Takut Membuat Kebebasan Diri Terbelenggu
Cukup banyak orang yang tidak dapat membedakan, antara suami takut istri atau suami sayang istri, karena sepintas ciri-ciri yang ditampilkan dan tampak kasat mata adalah sama. Ke mana-mana pergi, selalu didampingi istri.

Mau beli kendaraan, berunding dulu dengan istri, kalau istri tidak ikut diundang, maka suami tidak akan hadir dalam undangan tersebut. Menyaksikan hal-hal tersebut di atas, maka dalam hati, orang akan mengambil kesimpulan bahwa inilah contoh suami takut istri.

Sesungguhnya tidak ada suami yang takut istri karena logikanya, secara fisik seorang pria lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Jadi pengertian "suami takut istri" memiliki makna tersendiri.

Bukan takut secara fisik melainkan mungkin ada sesuatu hal yang menyebabkan seorang suami "takut" kepada wanita yang menjadi istrinya. Penyebabnya bisa datang dari berbagai hal, misalnya suami merasa berhutang budi kepada istri atau keluarga istri. Atau suami adalah karyawan dari orang tua istri atau boleh jadi ada rahasia suami yang diketahui oleh istri.

Abaikan Stigma Takut Istri
Kalau sekadar beli keperluan sehari-hari, tentu tidak perlu harus melapor dulu kepada istri. Akan tetapi bilamana menyangkut urusan yang penting, seperti membeli mobil, beli rumah, atau merencanakan untuk berpergian keluar kota, apalagi ke luar negeri, alangkah baiknya istri diajak berunding.

Tidak usah merasa gengsi, walaupun mungkin diri kita sebagai penghasil masukan uang dalam keluarga. Berunding dengan istri berarti menghargai pendamping hidup kita, tanpa kehilangan martabat diri. Sebagai seorang suami, sudah sepantas dan selayaknya mencintai istrinya sepenuh hati.

Berusaha dengan cara yang baik dan santun untuk menyenangkan hati istri. Melindungi istri dari bahaya, baik fisik maupun bahaya lainnya. Kalau perlu siap mempertaruhkan hidup demi untuk keselamatan istri.

Akan tetapi, bilamana permintaan istri berpotensi akan dapat berefek buruk, apalagi dapat membahayakan, maka suami berani mengatakan "tidak" kepada istri. Bukan karena tidak menyayangi, malah justru karena ingin melindungi.

Hal ini untuk menjaga jangan sampai rasa sayang pada istri yang dilakukan secara kebablasan akan berubah wujud menjadi takut istri. Sehingga apa saja kemauan istri dituruti, walaupun sadar bahwa hal tersebut dapat menjadi petaka bagi keluarga.

Menikah, bukan hanya berarti sepasang sejoli hidup dalam satu rumah, melainkan sekaligus diiringi dengan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab yang tidak tertulis, tapi wajib dipatuhi, baik suami maupun istri.

Suami adalah kepala rumah tangga, tapi bukan bos. Sebaliknya, istri adalah ratu rumah tangga, tapi bukan berarti tugasnya hanya bersolek, melainkan mengurus rumah tangga. Kesimpulannya, "saling mencintai, saling menghargai, dan saling menghormati" adalah pondasi dalam membangun rumah tangga.

Ditulis berdasarkan pengalaman hidup berkeluarga  yang sudah berlangsung selama lebih dari setengah abad. Semoga ada manfaatnya.

Tjiptadinata Effendi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun