Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pengalaman Menulis Naskah Buku Pertama

19 Oktober 2019   04:00 Diperbarui: 19 Oktober 2019   04:16 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: elekmediakomputindo

Bukan Pamer, Melainkan Untuk Berbagi Pengalaman Menulis Buku

Setelah mengalami sendiri bagaimana dengan memanfaatkan energi alam semesta, dengan teknik penyembuhan diri secara alami yang berasal dari Tibet, maka saya dan istri nekad berangkat ke Tibet untuk memastikan, apakah teknik ini bagian dari ajaran agama tertentu atau bersifat universal. 

Saking antusias, hingga lupa diri bahwa kami berkunjung ke Lhasa, ibu kota Tibet pada waktu yang sangat tidak tepat, yakni musim dingin. Tiba disana pesawat China Airlines landing dan kami turun tangga, rasanya hampir semaput. 

Temperatur berada sekitar 25 derajat dibawah titik beku. Pakaian hangat yang kami beli di Shanghai ternyata tidak mampu menahan dinginnya udara. Sepuluh hari di sana, serasa lebih dari satu abad. Untuk bernafas di malam hari, kami harus membayar kantong plastik yang berisi oksigen, agar bisa bernafas. 

Syukurlah kami berdua dapat melalui semuanya dengan selamat. Sementara teman kami, sama berasal dari Indonesia, tapi dalam rombongan lain, tidak mampu bertahan dan meninggal di Lhasa. 

Walaupun menjalani hari-hari bagaikan tersiksa, tapi kami pulang dengan lega, karena ternyata teknik Reiki yang kami pelajari bukan bagian dari ajaran agama, melainkan merupakan cara penyembuhan alami yang menjadi tradisi bagi orang Tibet.

Motivasi Untuk Menulis Buku Pertama

Sepulang dari Tibet, saya semakin mantap karena sudah  memastikan bahwa teknik ini sama sekali tidak merupakan bagian dari ajaran agama tertentu. 

Bahwa orang Tibet yang beragama Budha, berdoa menurut ajaran agamanya sebelum melakukan pengobatan, tentu adalah sangat wajar. Sementara yang lain berdoa menurut ajaran agama masing masing

Hal ini, merupakan motivasi bagi saya untuk menulis buku tentang Reiki. Dengan penuh rasa percaya diri,saya datangi kantor PT Elex Media Komputindo di jalan  Palmerah di Jakarta. 

Oleh salah seorang staff di sana, saya diantarkan ke ruangan pak Ir.Arie Subagijo, Saya utarakan maksud  hati untuk menulis naskah buku. tentang Reiki. Dan luar biasa senang ketika mendengarkan jawaban langsung dari mas Subagijo: "Tentang teknik terapi diri ya? Boleh, mana naskahnya?" 

Wah, bagaimana senangnya hati, sulit bagi saya menjelaskan. Dan saya jawab: "Segera saya siapkan mas" 

"Berapa lama?" tanya mas Subagijo.

"Paling lama seminggu" jawab saya mantap.

"Saya tunggu. jangan lama-lama ya pak Effendi, ntar kedahuluan orang lain menulis" jawab mas Subagijo antusias.

Nah, ini yang mungkin dibilang: "Bak gayung bersambut". Saya antusias dan Pihak Penerbit tak kurang antusiasnya.

Menulis Bagai Orang Kesurupan

Sepulang dari kantor PT Elex Media Komputindo, dengan bersemangat saya ceritakan kepada istri saya tentang rencana menulis buku, yang sudah disetujui oleh Penerbit. Dan bagaikan orang kesurupan, saya menulis sejak dari pagi hingga larut malam. 

5 hari naskah buku setebal sekitar 200 halaman siap. Karena apa yang saya tulis,sesungguhnya sudah ada dalam otak saya, hanya tinggal menuangkan dalam bentuk tulisan. Langsung saya bawa dan temui mas Subagijo.

Sempat Kaget

Setibanya di kantor Elex Media, saya langsung menyerahkan naskah buku yang berjudul "Aplikasi Reiki Dalam Penyembuhan Diri Sendiri dan Orang Lain". 

Sempat kaget ketika membaca naskah tersebut mas Subagijo mencoret coret sana sini. Sempat hati saya menciut. Tapi setelah membaca selang sekitar 30 menit, mas Subagijo memandang saya dan berkata: "Kontennya bagus, tapi harus banyak di edit."

Senang sekali saya dengar perkataan ini. Yang penting"Bagus!" mengenai diedit, sama sekali tidak masalah bagi saya. Seingat saya, ada 6 kali saya bolak balik menemui mas Subagijo.

Senangnya Menandatangani Kontrak Kerjasama

Selang seminggu saya ditelepon,untuk datang lagi menemui mas Subagijo. Begitu bertemu, saya langsung disalami dengan ucapan: "Selamat pak Effendi, buku akan segera diterbitkan. Mohon ditandatangani kontrak kerjasama kita." Maka tanpa merasa perlu untuk membaca isinya, langsung saya tanda tangani.

Pesan mas Subagijo: "Kalau pak Effendi serius mau jadi Penulis buku,jangan tunggu hingga buku  terbit. Begitu naskah diserahkan, siapkan lagi naskah buku yang lainnya." 

Buku pertama, mengalami cetak ulang hingga 15 kali dan begitu juga ke 8 judul buku lainnya, juga dicetak berulang kali. Hasil royalty yang saya terima  dan masuk ke rekening BCA saya, tidak pernah saya gunakan. 

Setelah terkumpul sejumlah sekitar 225 juta rupiah (dua ratus dua puluh lima juta rupiah), saya ajak istri saya keliling Eropa untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 40 pada waktu itu.

Buku Best Seller, Beda dengan Buku Best Writer

Sebagai informasi, buku  best seller, dinilai dari sudut bisnisnya. Mengenai tata bahasa, tentu akan berbeda dengan buku Best Writer, yang kata perkata ditulis dalam tata bahasa yang apik dan kosa kata yang ciamis.

Sejujurnya, buku karya tulis saya yang menjadi National Best Seller, kalau saya menilai dengan angka,hanya mendapatkan point angka 65 ,karena menggunakan bahasa yang sangat sederhana,bahkan terkesan kampungan. 

Tapi justru  kelemahan dalam bertata bahasa indah ini, menjadi kekuatan. Karena rata rata pembaca,lebih senang membaca tulisan yang mudah dipahami,ketimbang harus cari di google, arti kata dari kalimat yang dibaca. 

Penjual Kelapa Bertransformasi Jadi Pengusaha dan Penulis

Dari Penjual Kelapa dan sempat menjadi Pengajar, kemudian saya melakukan transformasi diri menjadi Pengusaha dan kemudian hingga kini menjadi Penulis. 

Hingga kini, ketika sedang duduk menyeruput secangkir kopi hangat, terkadang saya merasa seperti bermimpi. Bagaimana mungkin, dari orang yang pernah menjadi kuli selama dua tahun di pabrik karet, kemudian menjadi Penjual Kelapa, saya menemukan jalan untuk dapat menikmati hidup layak hingga menua bersama istri tercinta. Sungguh, apa yang mustahil bagi manusia, ternyata bila Tuhan berkenan tiada yang mustahil bagi Tuhan.

Tjiptadinata Effendi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun