Kita yang selama ini memitoskan diri sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi bahkan adiluhung, ternyata tidak pernah memiliki strategi kesenian yang tepat untuk  mengembangkan kesenian, bahkan tak bisa mengembangkan dan meningkatkan apresiatornya. Kita hanya mempunyai sedikit perguruan tinggi seni, bahkan di tingkat SMP dan SMA/SMK kita nyaris tak mempunyai sekolah khusus kesenian. Kurikulum SMP dan SMA umum hanya memberikan porsi 2 jam untuk pendidikan kesenian dalam satu semesternya. Bahkan di SMK tak dijumpai mata pelajaran kesenian. Perhatian yang mnimal ini tentu saja tak bisa menghasilkan pengembangan apresiasi kesenian yang memadai dalam masyarakat.
Akhir-akhir ini bangsa kita mengalami berbagai macam krisis. Yang paling memprihatinkan adalah krisis kemanusiaan. Berabad-abad lamanya, kita pernah dimitoskan sebagai bangsa yang lemaqh-lembut, toleran, menjunjung tinggi kemanusiaan, namun akhir-akhir ini sepanjang hari kita dibenturkan dengan kenyataan bahwa kita telah menjadi bangsa anarkis, pemberang, pemaki, penghasut, tukang fitnah, intoleran, haus darah, perkelahian antarwarga, perkelahian siswa dan tak peduli dengan penderitaan orang lain.
Siapakah yang bisa menolong kita dari krisis kemanusiaan ini? Kapan kita kembali menjadi manusia yang utuh nilai kemanusiaannya? Apakah kemajuan teknologi yang akan menolong kita? Ilmu pengetahuankah?
Ternyata kemajuan teknologi dan puncak-puncak pengetahuan tidak berdaya menghadapi krisi kemanusiaan ini. Kita harus berpaling kembali pada dunia kesenian untuk mendampingi agama untuk mengasah kembali jiwa dan perasaan kemanusiaan kita.
Untuk itu, kesenian harus dipandang kembali utuh dengan sisi filosofinya, kemudian diterjemahkan dalam bentuk strategi kesenian yang tepat dengan tidak melupakan matra-matra kesenian atas seni yang  art, kria (craft), dan kitsch (ertertaimen/hiburan), sehingga tidak mencampuradukan untuk menghindarkan distorsi pengertian yang berakibat tak menguntungkan pada pembinaan kesenian. Dengan meletakkan kembali posisi kesenian sebagai sebuah wacana yang strategis dalam menciptakan manusia yang utuh, kita bisa berharap untuk dapat kembali menjadi bangsa yang berkemanusiaan. Semoga.***
*) Penulis adalah sastrawan, pemerhati budayaÂ