Tak ada puisi-puisi penyair Indonesia yang paling banyak dihafal dan dibaca oleh khalayak, selain puisi-puisi Chairil anwar. Paling tidak setiap anak sekolahan di sekolah menengah pasti pernah menghafal puisi Aku, atau di setiap tujuhbelasan akan membaca dengan lantang puisi Kerawang-Bekasi. Larik-larik puisi Chairil Anwar pun telah abadi sebagai sebuah jargon, pepatah atau kata-kata mutiara. Misalnya, "Aku mau hidup seribu tahun lagi", "hidup hanya menunda kekalahan", "sekali berarti sudah itu mati", "Ayo, Bung Karno kasih tangan", "kami Cuma tulang-tulang berserakan", dan lain-lain.
     Pengutipan tersebut larik-larik tersebut yang tidak disertai dengan koteks yang utuh atas pemahaman dan pembacaan sajak-sajaknya secara totalitas, tentu saja tidak bisa dianggap sebagai pembuktian bahwa manusia Indonesia atau masyarakat terpelajar Indonesia akrab dengan jagat puisi. Apalagi menunjukkan pembuktian bahwa masyarakat kita memiliki daya apresiasi yang tinggi terhadap sastranya. Tapi, setidaknya pengutipan-pengutipan itu menunjukkan bahwa sajak-sajak Chairil telah menjadi milik bersama, menjadi warisan bersama.
      Kebanyakan orang mengenal Chairil lewat sajaknya yang mewartakan sifat vitalitas hidup, revolusioner, ekspresif, individualistis dan liar tak gampang tunduk. Yang terwakili dalam sajak AKU (yang pasti dikenal oleh semua orang yang pernah makan sekolahan), berikut ini:
AKU
Kalau sampai waktuku
'ku mau tak seorang ' kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku