Jauh sebelum Kristeva, berpuluh tahun sebelumnya, melalui novel otobiografisnya berjudul Let Mots atau Kata-Kata (1964), Jean Paul Satre sudah berujar dan mengaku bahwa menemukan dirinya, hidupnya dan segala ambigiutas makna yang berkelebat di seputar dirinya melalui kata-kata.
Setiap kata menggendong pemikiran. Bahasa menjadi rumah bagi gagasan. Gagasan-gagasan yang dirancang manusia memberikan cita-cita hidup, kehidupan, kebudayaan dan membangun peradaban.Â
Saat manusia menemukan aksara di 4000 SM, mereka memasuki kesadaran bahwa gerak kebudayaan untuk membentuk peradaban merupakan hasil transformasi sublimasi nalar ke dalam sublimasi komunikasi. Bahasa dan kata (yang tersimbolkan aksara) merupakan konstruksi pikiran dan gagasan manusia.Â
Maka dalam sekejap nalar atau aqala menemukan sarang meditasinya yang menggairahkan. Tak sekedar itu, melalui bahasa, manusia bisa menyusun jejak-jejak pemikirannya, mencatatkan riwayat-riwayat pemikirannya yang menandai tiap dinamika peradaban melalui bahasa.
Selanjutnya, bahasa menjadi sarana perlintasan pemikiran sekaligus menjadi perlintasan simpang siurnya adu kepentingan. Bahasa menjadi ajang bagi diskursus yang mewarnai kehidupan manusia, menjadi perangkat bagi penyusunan sejarah pencapaian manusia, menjadi prasasti selebrasi sekaligus perangkap keterjebakan manusia. Salah satu perangkat keterjebakan itu adalah politik dan kekuasaan.
Bahasa dan kata-kata menjadi kuda tunggangan yang paling tepat bagi politik dan kekuasaan. Bahasa dan kata-kata menjadi piranti utama untuk memuluskan pencapaian kepentingan politik dan kekuasaan.Â
Bahasa dan kata yang semula dikodratkan suci, di genggaman kepentingan politik dan kuasa bisa berubah menjadi alat yang menjijikkan. Maka bahasa pun menjelma menjadi dwimuka, berwajah malaikat sekaligus iblis.
Saat politik dan kuasa menjadi pilihan yang mendominasi semua kiblat kehidupan manusia, maka kata dan bahasa menjadi piranti paling tangguh dalam konstelasi pertarungan dan perebutan kuasa.Â
Kata dan bahasa menjadi alat paling canggih dan mematikan dalam pertarungan politik. Maka tak mengherankan seorang Cicero memutuskan eksodus dari Roma ke Yunani untuk mempertajam kemampuan retorikanya dan memberdayakan segenap potensi bahasanya menjadi alat yang ampuh dan mematikan untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya.Â
Ia pun dengan penuh keyakinan berfatwa, "Tak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata (bahasa)!"
Bahasa pun menjadi bagian dari kuasa. Politik bahasa mendapatkan ladang yang subur saat manusia benar-benar mengabdi menjadi hamba kepentingan politik.Â