Hukum - Kamu seorang investor besar dari Jepang. Kamu sedang mencari negara Asia Tenggara untuk menanamkan modal pabrik elektronik. Pilihannya ada tiga, Vietnam, Thailand, dan Indonesia. Tapi anehnya, meski Indonesia punya pasar yang besar, sumber daya melimpah, dan tenaga kerja muda yang banyak, kamu malah condong ke Vietnam. Kenapa?
Indonesia mungkin tampak menggoda di permukaan, tapi ketika menyelam lebih dalam, kamu akan melihat arus bawah yang deras, birokrasi lambat, kebijakan berubah-ubah, dan infrastruktur yang bikin garuk kepala. Dan inilah masalah besar yang masih membayangi Indonesia, meski sudah banyak gebrakan dilakukan pemerintah.
Indonesia berupaya mempermudah investasi, tapi masih kalah saing dari China karena birokrasi rumit, infrastruktur lemah, dan kebijakan yang tidak konsisten. - Tiyarman Gulo
Indonesia dan Mimpinya Jadi Magnet Investor
Selama satu dekade terakhir, Indonesia memang tak tinggal diam. Dari Omnibus Law, pembangunan jalan tol, hingga digitalisasi perizinan lewat OSS (Online Single Submission), semuanya adalah usaha nyata untuk menarik investor. Pemerintah juga rajin promosi ke luar negeri, ikut forum ekonomi dunia, dan menjual mimpi "Indonesia Emas 2045."
Namun di balik semua itu, para calon investor masih ragu. Banyak dari mereka masih menganggap Vietnam lebih siap, Thailand lebih stabil, bahkan Malaysia lebih konsisten. Apa yang salah? Mari kita bedah satu per satu.
1. Birokrasi
Masih banyak pengusaha yang mengeluhkan proses perizinan di Indonesia seperti berlari estafet tanpa tahu siapa yang menerima tongkat selanjutnya. Panjang, berliku, dan kadang harus "isi bensin tambahan."
Menurut data Katadata, proses investasi bisa memakan waktu lebih dari satu tahun di Indonesia. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya butuh sekitar dua bulan. Itu berarti investor di Vietnam bisa mulai produksi lebih cepat, masuk pasar lebih cepat, dan tentu saja, cuan lebih cepat.
Digitalisasi memang sudah dilakukan lewat sistem OSS, tapi pada praktiknya, masih sering terjadi tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah. Ujung-ujungnya? Investasi jadi tertunda.
2. Infrastruktur
Pernah dengar keluhan pengusaha yang bilang, "Bawa barang dari Jepang ke Jakarta lebih murah daripada dari Jakarta ke Kalimantan?" Itu bukan candaan, tapi kenyataan.
Biaya logistik di Indonesia termasuk yang paling mahal di Asia. Menurut Kompas Uang, infrastruktur kita masih belum menyambung antarpulau secara efisien. Sementara China dan Vietnam telah membangun koridor industri yang terintegrasi dengan pelabuhan dan jalur kereta cepat.
Hal ini berdampak langsung pada keputusan investasi. Investor tentu memilih negara yang murah, cepat, dan efisien dalam urusan logistik. Jika Indonesia belum bisa menjamin itu, maka peluangnya akan terus direbut negara tetangga.
3. Ketidakpastian Kebijakan
Bayangkan kamu sudah investasi triliunan rupiah, eh... tahun depannya regulasi berubah. Atau insentif yang dijanjikan ternyata tidak jadi diberikan. Inilah yang membuat banyak investor ragu masuk ke Indonesia.