Pendidikan - "Waktu pertama kali disuruh milih jurusan, kamu sempat deg-degan enggak? Ngerasa kayak lagi ambil keputusan hidup padahal umur masih belum cukup bikin KTP?"
Banyak dari kita masih ingat momen itu, kelas 10, baru aja adaptasi, eh udah ditodong buat milih jurusan. IPA, IPS, atau Bahasa? Pertanyaannya, apakah ini soal nilai, minat, bakat, atau cuma ikut-ikutan teman?
Memilih jurusan di SMA bukan perkara sepele. Ini seperti diminta memilih arah hidup ketika kita bahkan belum benar-benar kenal siapa diri kita. Apalagi, pilihan itu kerap dianggap menentukan masa depan, kuliah di mana, kerja apa, hidup seperti apa. Padahal, di usia segitu, sebagian besar siswa bahkan belum tahu apa cita-citanya.
Dinamika sistem penjurusan di SMA, mulai dari penghapusan dalam Kurikulum Merdeka hingga rencana penerapan kembali dan dampaknya. - Tiyarman Gulo
Sistem Lama, Beban Lama
Sistem penjurusan sudah jadi bagian dari sejarah pendidikan Indonesia sejak lama. Siswa kelas 10 hanya diberi waktu satu tahun untuk "adaptasi", sebelum akhirnya harus memilih antara jurusan IPA, IPS, atau Bahasa. Jurusan ini bukan sekadar label. Ia menyiratkan jalur masa depan.
IPA? Buat yang pintar, katanya. Calon dokter, insinyur, atau ilmuwan. IPS? Buat yang jago ngomong, bisa jadi pengusaha, pengacara, atau ekonom. Bahasa? Sering dianggap alternatif terakhir, meski sebenarnya punya banyak potensi, dari linguistik, jurnalisme, hingga diplomasi.
Sayangnya, sistem ini kerap menumbuhkan hierarki yang tidak sehat. Banyak siswa merasa terpaksa masuk jurusan tertentu demi gengsi, bukan karena minat. Akibatnya, semangat belajar rendah, performa jeblok, dan makin bingung soal masa depan.
Kurikulum Merdeka
Lalu datanglah Kurikulum Merdeka, yang mencoba mengubah banyak hal. Salah satunya, menghapus sistem penjurusan.
Lewat struktur baru ini, siswa kelas 10 belajar pelajaran umum, lalu di kelas 11 dan 12 mulai memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana masa depan. Tidak ada lagi label IPA, IPS, atau Bahasa. Semua siswa bisa ambil kombinasi lintas bidang, misalnya, Matematika dan Sosiologi, atau Biologi dan Sejarah.
Kelebihannya?
- Siswa bisa mengeksplorasi lebih luas.
- Tidak ada lagi stigma antar jurusan.
- Pendidikan lebih personal dan relevan dengan minat siswa.
- Mendorong interdisipliner, sesuai kebutuhan dunia kerja masa kini.
Namun, implementasinya tidak semudah itu.
Banyak sekolah belum siap. Guru kekurangan pelatihan. Jadwal jadi rumit. Dan yang paling menantang, sistem seleksi perguruan tinggi (SNBP dan SNBT) masih banyak yang pakai kategori IPA dan IPS.