Lyfe - "Ramadan bukan tentang kemewahan, melainkan tentang kebersamaan. Di rumah kecil kami, meski serba terbatas, cahaya Ramadan selalu menerangi hati setiap penghuninya."
Ramadan selalu menjadi bulan yang dinantikan banyak orang. Bulan suci ini membawa ketenangan, kebersamaan, dan kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Namun, bagi sebagian orang, Ramadan juga bisa menjadi bulan penuh ujian, terutama bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan. Namun, di balik kesederhanaan, selalu ada keikhlasan dan keberkahan yang luar biasa.
Cerpen ini mengisahkan keluarga sederhana yang menjalani Ramadan dengan penuh kebersamaan, menghadapi tantangan ekonomi, dan menemukan keberkahan melalui keikhlasan. - Tiyarman Gulo
Kisah Keluarga Sederhana di Tengah Ramadan
Di sebuah desa kecil, hiduplah sebuah keluarga sederhana: Ayah, Ibu, aku, dan adik kecilku, Raka. Kami tinggal di rumah panggung sederhana yang catnya mulai pudar. Ramadan selalu menjadi bulan paling ditunggu dalam keluarga kami, bukan karena hidangan berlimpah, melainkan karena kehangatan yang semakin terasa.
Meskipun hidup dalam keterbatasan, kami tidak pernah merasa kekurangan cinta dan kasih sayang. Ayah bekerja sebagai buruh harian di pasar, sementara Ibu menerima jahitan pakaian untuk menambah penghasilan keluarga. Walau penghasilan mereka tidak menentu, mereka selalu mengajarkan kami untuk bersyukur dengan apa yang ada.
Setiap sore, aku dan Ibu menyiapkan takjil seadanya. Biasanya hanya kolak pisang atau teh manis, tetapi itu sudah cukup bagi kami. Ayah selalu berkata, "Bukan makanan yang membuat Ramadan istimewa, tapi kebersamaan dan rasa syukur."
Kami juga memiliki kebiasaan berbuka dengan tetangga. Meskipun sederhana, ada kebahagiaan tersendiri dalam berbagi makanan. Setelah berbuka, kami selalu melaksanakan tarawih bersama di mushola kecil dekat rumah. Aku suka melihat Raka berusaha khusyuk, meski sering tertidur di pangkuan Ibu.
Suatu hari, saat Ramadan memasuki minggu kedua, Ayah kehilangan pekerjaannya. Aku bisa melihat kesedihan di matanya, tetapi ia tetap berusaha tersenyum. "Rezeki itu Allah yang atur, Nak. Kita hanya perlu bersabar dan tetap berusaha," katanya.
Meskipun kondisi ekonomi semakin sulit, Ibu tetap berusaha menyajikan makanan terbaik dengan bahan seadanya. Kami mulai lebih sering berbuka dengan nasi dan sayur sederhana, tapi suasana kebersamaan membuat segalanya terasa cukup.
Namun, keadaan semakin sulit ketika Raka jatuh sakit. Demamnya tinggi, dan tubuhnya lemas. Kami tidak punya cukup uang untuk membawa Raka ke dokter. Aku melihat Ibu duduk di sudut kamar, menahan tangisnya sambil berdoa. "Ya Allah, berilah kekuatan untuk keluarga kecil kami."
Di tengah kebingungan, tetangga kami, Bu Lestari, datang menjenguk. "Saya dengar Raka sakit, ini ada sedikit uang untuk berobat," katanya, menyerahkan amplop kecil. Ibu menolak dengan halus, tapi Bu Lestari bersikeras. "Ramadan adalah bulan berbagi, Bu. Jangan ditolak rezeki ini."
Dengan bantuan itu, Raka akhirnya bisa dibawa ke puskesmas dan mendapat obat. Seminggu kemudian, kondisinya membaik. Aku melihat Ayah tersenyum lega, meski ada air mata di sudut matanya.