Hukum - Menjelang hari raya, perusahaan-perusahaan di Indonesia sering kali dihadapkan pada fenomena yang tidak mengenakkan, aksi premanisme berkedok permintaan Tunjangan Hari Raya (THR).Â
Sejumlah kelompok atau individu dengan embel-embel organisasi massa (ormas) mendatangi kantor-kantor dan usaha lokal, meminta "jatah" dengan berbagai cara, mulai dari proposal pengajuan dana hingga intimidasi langsung.Â
Fenomena ini bukan sekadar cerita di media sosial, tetapi sebuah realitas yang semakin dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Pertanyaannya, apakah aksi premanisme ini sudah sampai pada level yang meresahkan hingga membutuhkan kehadiran negara dalam penegakannya?Â
Bagaimana kita sebagai masyarakat dapat melindungi diri dari praktik semacam ini? Dan yang lebih penting, bagaimana memastikan bahwa budaya ini tidak terus berkembang dari generasi ke generasi?
Aksi premanisme meresahkan dengan meminta "jatah THR". Dibutuhkan penegakan hukum tegas, edukasi masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi untuk memberantasnya. - Tiyarman Gulo
Penyebab Maraknya Aksi Premanisme
Untuk memahami mengapa premanisme terus terjadi dan bahkan berkembang, kita perlu menelaah beberapa faktor pemicunya :
Kemiskinan dan PengangguranÂ
Banyak pelaku premanisme berasal dari latar belakang ekonomi rendah dan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka akhirnya mencari penghasilan dengan cara instan, termasuk melakukan aksi intimidasi kepada masyarakat atau pelaku usaha.Â
Tidak sedikit pula yang melihat praktik ini sebagai "peluang bisnis" karena minimnya konsekuensi hukum.
Kurangnya Pendidikan dan Nilai MoralÂ
Rendahnya tingkat pendidikan berkontribusi pada minimnya kesadaran hukum dan moral. Sebagian individu melihat premanisme sebagai cara bertahan hidup yang sah, tanpa memahami dampak negatifnya bagi masyarakat luas.Â
Dalam banyak kasus, aksi premanisme bahkan diajarkan dari generasi ke generasi, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.
Ketidakefektifan Penegakan HukumÂ
Sistem hukum yang lemah sering kali membuat pelaku premanisme tidak jera. Banyak kasus pungutan liar atau intimidasi yang berakhir dengan kompromi, bukan hukuman tegas.Â