Mohon tunggu...
Sofah D. Aristiawan
Sofah D. Aristiawan Mohon Tunggu... Penulis - Sofah D. Aristiawan

Pengagum Demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Percakapan Seorang Bocah tentang Perahu Kertas, Banjir Jakarta, dan Film Before The Flood (2016)

16 Agustus 2018   16:12 Diperbarui: 16 Agustus 2018   16:44 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perahu kertas
Jari jemari mungil itu melipat-lipat selembar kertas. Ada yang bekas catatan nilai ulangan matematika, ada juga yang sengaja merobek halaman kertas baru untuk membuat miniatur perahu, atau biasanya, bocah laki-laki lebih doyan membentuk speadboat. Alasannya simpel: biar lebih maskulin. Sebab, wujud speadboat itu lebih merepresentasikan lekukan yang tegas khas seorang lelaki, dibandingkan perahu kertas itu yang mirip topi ulang tahun.

Kesibukan membuat origami semacam itu, tentu dikarenakan musim penghujan yang telah tiba. Saat itu, tengah hari, awan memberat dan langit gelap. Pertanda bocah-bocah itu mesti bersiap.

Mencari tempat yang lebih tinggi sambil berharap datang banjir (saat itu, dalam benak anak-anak kecil itu, banjir bukanlah momok menakutkan, sebab yang rutin terjadi dan dilihat mereka, banjir yang tingginya setengah betis kaki orang dewasa) untuk dimulainya permainan "Peperahuan" --secarik kertas yang sudah jadi perahu atau speadboat yang ditarik sehelai kenur, dan cara mainnya: cukup dengan berlayar melawan arus air yang jauh dari bah itu.

Hujan yang turun memeluk bumi kala itu, tak sampai buat orang-orang pergi mengungsi. Yang ada, justru sebagai perekat satu keluarga kecil yang ngumpul di depan televisi atau pemberi inspirasi bagi syair sendu kawula muda yang patah hati.

Juga tentu bagi bocah-bocah riang yang erat menggenggam kenur itu, sembari bersenandung: "Tik... tik... tik... bunyi hujan di atas genting..." Sepotong lagu populer masa itu yang mengajarkan anak-anak untuk mensyukuri hujan. "Airnya turun tidak terkira," lanjutnya.

Seperti itulah hujan dalam imaji sang bocah: air yang cukup untuk membasahi tanah, mengelap daun-daun kering yang ditimpa debu, atau sesekali hadir sebagai arena peperahuan itu. Namun, lirik "tidak terkira" itu punya pengertian lain, saat si bocah tumbuh besar dan melihat banjir Jakarta.

Banjir Jakarta
Jakarta merupakan kota metropolitan. 70% perputaran uang Indonesia -dari kawasan Central Business Distric (CBD) yang tak tidur dan bank-bank besar yang sibuk, hotel dan apartemen megah, pusat perbelanjaan dan restoran yang ramai, sederet perusahaan multinasional dan stasiun televisi nasional yang menjajakan iklan dengan tarif tinggi, gedung-gedung pemerintah yang tak kalah wibawanya, sampai kudapan kacang-kuaci-permen (cangcimen) pedagang asongan dan kaki lima di trotoar jalan, juga kantong-kantong warga setempat yang letih bekerja- ada di Jakarta (Kadin Indonesia, 2013). Agaknya, belumlah cukup menggambarkan Jakarta sebagai pertemuan antara pusat pemerintahan dan pusat bisnis dengan pendapatan per kapitanya sebesar 174.824.000 rupiah, di mana dihuni oleh lebih dari 10 juta orang (BPS, 2014).

Ibu kota yang menakjubkan dan menggiurkan, yang dipaksa terus berlari walau dengan kaki luka. Jakarta, ia butuh istirahat. Dan titik-titik banjir itu, bisakah kita anggap waktu yang pas untuk sejenak mencari dan mengobati luka itu?

Terlalu sulit, nampaknya. Si bocah yang kini telah dewasa tak bisa naif, sama seperti kebanyakan orang. Sebab akibat banjir, bukan istirahat yang didapat, melainkan rutinitas yang jadi tak menentu, juga sebuah luka lain: banjir jadi semacam monster yang meluluh-lantakkan harta benda, juga tak sedikit korban jiwa. Tentu, banjir yang melebihi betis kaki orang dewasa.

Pemerintah DKI Jakarta pun mengamini itu dari tahun ke tahun: 38 nyawa melayang di tahun 2013, Januari 2014 memakan 23 korban tewas, lima dan dua orang meninggal pada banjir 2015 serta 2016. Jakarta lumpuh, dan yang juga dikhawatirkan ialah perekonomian yang mandek. Seperti banjir besar 2013 serta 2014 yang menghilangkan 7,5 triliun dan 5 triliun rupiah (BNPB, 2013 & 2014).

Pun Poros bisnis elite Sudirman, Kuningan, Thamrin, Gatot Subroto tak berdaya. Kota yang punya segalanya tentang kemajuan itu justru ciut gara-gara banjir. Lalu, ramai orang mengecam air bah itu. Parade tuding menuding pun terjadi...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun