Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Manusia Modern dan Good Samaritan Syndrome: Jangan-Jangan Kita Salah Satunya?

7 Agustus 2022   05:56 Diperbarui: 7 Agustus 2022   06:36 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam masa ini, kita hidup di dunia yang serba digital dengan arus informasi yang deras mengalir melalui beragam teknologi komunikasi. Hal ini pun merubah banyak hal, termasuk cara manusia menjalani hari.

Coba saja kita mundur ke dua puluh tahun yang lalu. Dua puluh tahun lalu, internet hanya diakses kalangan tertentu. Teknologinya pun masih begitu terbatas dan tidak sepraktis sekarang.

Lalu, lihat dunia kita yang sekarang. Internet pada masa ini telah menjadi bagian hidup yang sulit terpisahkan bagi manusia modern. Bangun dari tidur, kita nyalakan ponsel dan membuka media sosial; menyelesaikan tugas sekolah hingga pekerjaan kantor pun dengan berinternet; bahkan ada pula yang menggantungkan hidup di sana, misalnya saja mereka yang berjualan secara daring untuk memenuhi kebutuhan.

Terlepas dari ribuan dampak positif yang mengelilingi kita bukan berarti tidak adanya kemungkinan akan dampak negatif yang mengintai. Salah satunya, perubahan secara mental yang diakibatkan oleh teknologi di sekitar kita. Sebut saja anak kecanduan gim, rasa gelisah dan tidak aman karena terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, hingga yang kali ini akan kita bahas yakni Good Samaritan Syndrome atau Sindrom Orang Samarita yang Baik Hati.

Pernahkah mendengar tentang sindrom ini?


Good Samaritan Syndrome atau Sindrom Orang Samaria yang Baik Hati merupakan suatu kondisi di mana seseorang terus berupaya menciptakan gambaran diri (image) sebagai orang yang baik hati dan penolong bagi mereka yang tak beruntung (seperti halnya orang miskin, anak yatim, disabilitas, dsb).

Uniknya, nama sindrom ini biasanya disematkan pada seorang laki-laki, sedangkan pada perempuan memiliki istilah tersendiri yakni Florence Nightingale Syndrome. Namun, pada dasarnya keduanya memiliki pola atau gejala yang sama.

Mengutip dari Romasety (2019), jika suatu kebaikan menjadi kompulsif (wajib, harus) maka sesungguhnya kebaikan tersebut mengalami degradasi. Sebab, suatu kebaikan yang kompulsif menjadi tindakan yang bersifat mekanis; otomatis; dan tanpa kebebasan. Diibaratkan seseorang berubah menjadi robot kebaikan. Seseorang yang tak memiliki sindrom ini akan memikirkan tiga landasan dalam aksinya, yakni hukum; azas manfaat; dan situasi.

Good Samaritan sendiri adalah sebutan yang merujuk pada suatu kisah dalam Kitab Injil, menceritakan seorang pria Samaria yang menjadi satu-satunya penolong korban perampokan yang luka di sebuah jalanan sepi.

Romasety mengibaratkan, seseorang yang melihat orang lain diserang oleh sekawanan begal. Seseorang yang tak mengalami Good Samaritan Syndrome masih dapat berakal sehat dengan memikirkan risiko apa yang akan dia ambil jika menolong orang tersebut. Maka, yang akan dilakukannya adalah do something (melakukan sesuatu) misalnya saja memanggil polisi. Artinya, orang tersebut menolong tanpa membahayakan dirinya sendiri. Pada peristiwa ini, ada kinerjanya memikirkan ketiga landasan sebelum mengambil tindakan menolong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun