Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pamer di Kampung Saja

13 April 2022   10:21 Diperbarui: 13 April 2022   10:45 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah keluarga muda, dengan dua anak gadis balita terkaget-kaget sesampainya di kampung halaman sang ibu, dalam sebuah kesempatan mudik libur lebaran.  

Orang tua dan para saudari si ibu trenyuh melihat penampilan anak beranak, yang memilih bekerja dan menetap di Tangerang tersebut.  Bukan karena mereka tampak seperti orang kelaparan atau cacingan, melainkan semata-mata penampilan ibu muda dan kedua gadis kecilnya "sangat bersih", dalam artian tak secuil pun perhiasan yang dikenakan atau menempel di tubuh mereka.  

Kebetulan kedua anak gadisnya, karena prinsip sang ayah, cuping telinganya pun belum dilubangi, tempat di mana lazimnya anak gadis menggantungkan anting atau giwang penghias telinga.

Satu-satunya perhiasan yang dikenakan si ibu hanyalah cincin kawin, dan kedua anak gadis kecilnya mengenakan gelang kaki terbuat dari alumunium dengan bel kecil, yang akan berbunyi berdentigan jika kedua bocah nakal nan lucu tersebut berlari kian kemari.  Sengaja dibelikan sang ayah agar gampang memantau gerakan mereka di seantero rumah.  Perhiasan emas dan perak lainnya tak tampak di tubuh mereka. 

Akibatnya sungguh tragis, keesokan harinya anak beranak tersebut dipinjam pakaikan perhiasan oleh para saudarinya di kampung, dan harus dikenakan selama berada di kampung.  Sang ibu murka bukan buatan, namun sang suami yang merasa bersalah karena tak focus kepada harta benda apalagi perhiasan menenangkan dan menyarankan ikuti saja kemauan mereka, demi harkat dan martabat mereka di mata para tetangga.

Masih tentang keluarga muda lainnya, dalam kesempatan mudik ke kampung halaman beberapa tahun lalu.  Demi menyenangkan keluarganya di kampung, keluarga muda tersebut rela bekerja mati-matian dan khusus menabung untuk persiapan mudik menjelang lebaran.  Hasil jerih payah bekerjanya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka mudik, yang menjadi ritualnya setiap tahun.  

Alasannya sederhana, tidak tega jika keluarganya di kampung menganggap mereka di kota hidupnya susah.  Biarkanlah kita saja yang merasakan pahit getirnya berjuang hidup di kota, sanak family dan handai taulaun di kampung, biarlah kebagian cerita indah dan manisnya saja.

Lain keluarga muda, lain pula keluarga yang sudah agak menua.  Prioritas pamernya berubah kepada prestasi anak-anak yang dimilikinya. Akibatnya juga lumayan runyam, dalam kesempatan berkumpul sesama sanak saudara, nyaris semuanya menceritakan tentang kehebatan anak-anaknya di sekolah.  

Kadang kala sampai bingung, karena nyaris semuanya memiliki anak-anak yang menjadi bintang kelas di sekolahnya.  Keluarga muda di atas yang cuping telinga anaknya dilubangi pun tidak, hanya terbengong-bengong, karena anaknya sudah kelas 1 SD dan belum lancar membaca, sementara anak-anak yang lain, konon belum lulus TK pun sudah fasih membaca.  Sudah tak pakai perhiasan, tak lancar membaca pula.  

Sementara mereka paham belaka, bapak dan ibu anak-anak miskin harta tersebut sedang focus meniti karir melalui pendidikan dirinya sendiri yang menghabiskan gaji mereka yang memang sudah minim.  Akibatnya fatal, mereka jadi bahan cemoohan, mengenai pilihan mereka yang kuliah sambil bekerja banting tulang di pabrik-pabrik kawasan industry Tangerang.

Pamer Demi Kebaikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun