Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jodoh Bukan di Tangan Tuhan

4 November 2020   13:25 Diperbarui: 4 November 2020   13:33 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lain Jepang, lain Korea, lain pula di Singapura.  Alasan keengganan menjalin hubungan yang dilanjutkan ke jenjang pernikahan lebih mengacu kepada alasan ekonomi.  Enggan pacaran karena sibuk membina karir, dilanjutkan dengan enggan menikah karena pernikahan yang dilanjutkan dengan lahirnya anak membutuhkan biaya besar.  Khas negara-negara maju, tak punya uang berarti mati.  Jika demikian adanya, kelanjutan umat manusia di negara tersebut suatu saat bakal terhenti dan punah.

Di bumi pertiwi, ceritanya agak bertolak belakang.  Banyak pasangan yang tidak memiliki pekerjaan yang pasti namun tetap nekat membina rumah tangga.  Masalah bagaimana mereka mencukupi kebutuhan hidupnya, nanti saja dipikirkan.  Lebih celaka lagi, kehidupan pernikahan di negeri ini senantiasa dikaitkan erat dengan kepemilikan anak.

Jadi jika sebuah pasangan sudah menikah, mereka akan terus ditanya oleh segenap handai taulan serta sanak family.  Kapan kiranya akan punya anak, jika sudah punya anak, ditanya lagi sudah lengkap belum jenis kelamin para anak.

Jika punya dua anak memiliki jenis kelamin sama, disarankan menambah satu lagi yang jenis kelamin berbeda, agar lengkap kebahagiaannya.  Masalah bagaimana cara mereka mencukupi biaya hidup, bukan urusan penanya. Jika dijawab, "Udah ah, cukup, berat biayanya.", sang penanya akan menambahkan, "Jangan khawatir, anak membawa rejekinya masing-masing.", atau "Banyak anak banyak rejeki.".  Silahkan saja sampaikan nasihat tersebut kepada orang Singapura, sambil tak lupa bersiap-siap jika ada benda melayang menghampiri kepala kita, dari lawan bicara.

Terlepas dari mau tidaknya sebuah pasangan menikah, langkah awal dari terjalinnya sebuah hubungan adalah ada tidaknya jodoh yang dipertemukan kepada kita.  Mencermati kondisi kehidupan sekarang, pertemuan yang diawali dengan kisah kasih di atas nyaris sulit terjadi.  Bayangkan jika anak gadis sekarang terinjak kakinya yang sedang sakit, sang penginjak tidak ditempeleng pun sudah beruntung.  Atau seseorang yang kehilangan dompet, dan menerima telpon dari pria sang penemu untuk bertemu, bisa jadi anak gadis yang kehilangan akan menemuinya ditemani dengan sanak family serta polisi pamong praja sekaligus.  Berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.  Dan cerita serupa tentang pramuniaga dan pembeli, mohon dengan segala hormat, tidak dicarikan padanannya, oleh karena sang pembuat cerita termasuk orang yang egois.

Jika kita mengharapkan jodoh dari Tuhan, seperti halnya orang jaman dulu sering menenangkan anaknya yang tak kunjung ketemu jodoh, pun sudah tidak relevan.  Oleh sebab Tuhan sudah menyiapkan beraneka media social, konten jodoh, aplikasi kencan online dan sebangsanya yang  bisa diakses dengan mudah oleh siapapun yang ingin mencari pasangan untuk alasan-alasan yang hanya dipahami oleh yang bersangkutan belaka. 

Berharap menemukan jodoh di area public, di tengah maraknya pandemic corona, jauh lebih sulit lagi.  Setelah nyaris semua orang mengenakan masker, jaga jarak dan dihimbau untuk tidak berbicara satu sama lain, jangankan manusia, malaikat pun bingung tentang bagaimana cara mereka yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama untuk memulai percakapan.

Akhir kata, kita sebagai umat manusia, sesungguhnya memiliki kewajiban untuk mencari pasangan demi melanjutkan kehidupan di muka bumi. Gunakanlah segala daya dan upaya yang kita miliki, manfaatkan segala fasilitas yang ada, dan jangan bercita-cita untuk menjadi orang yang hidup sendirian hingga ajal menjemput.  Karena sesungguhnya, manusia diciptakan berpasang-pasangan bukan tanpa alasan, kecuali dengan hidup kita yang sendirian akan mampu dan berguna untuk menyelamatkan kehidupan umat manusia lain di muka bumi.  Misalnya jadi guru, pemuka agama, rohaniawan, pekerja social yang sepanjang harinya total mengabdikan diri untuk kepentingan umat manusia, tanpa perlu cemas memikirkan kehidupan anak istri di rumah yang juga harus dipenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Tangerang, 4 Nopember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun