Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setua Apapun, Ia Tetap Putri Kecil Ayah

27 Oktober 2020   10:25 Diperbarui: 27 Oktober 2020   10:35 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepasang anak Adam memulai hidup baru sebagai keluarga muda, dengan komposisi sang suami berusia nyaris kadaluarsa untuk ukuran pemuda, yaitu tiga puluh tahun dan sang istri berusia tujuh tahun di bawahnya.  Anugerah bagi si pria mendapatkan pasangan muda lagi jelita, musibah bagi si gadis manis mendapatkan pasangan berusia lanjut. Sambil berseloroh si gadis berujar, waktu kakak bergembira karena baru punya KTP, aku bergembira karena baru bisa naik sepeda. Sang pria tersenyum kecut.

Seperti keluarga muda pada umumnya, mereka bersepakat untuk memiliki dua anak saja, laki atau perempuan sama saja.  Namun dalam hati sang suami berkeinginan anak pertama adalah laki-laki dan kedua perempuan, dan pihak istri berkeinginan salah satu harus pria, tak peduli yang pertama atau kedua, oleh sebab dirinya sering mendengar cerita banyak suami kawin lagi hanya karena sang istri tak mampu melahirkan anak lelaki. Sungguh suami kurang ajar dan tak tahu diri.

Demikianlah keinginan si suami baru tersebut, tatkala sang istri hamil anak pertama, dirinya berharap mendapatkan bayi pertama laki-laki. Dan entah kenapa, sang istri jauh sebelum hamil berkata, jika punya anak aku ingin ia diberi nama "Nawang". Setelah tersentak beberapa detik, sang suami mengiyakan sambil berkata, "Oke, tapi nanti nama kedua dan ketiganya aku yang buat ya?" sambil di dalam hati berharap semoga saja yang lahir bayi lelaki, dan berpikir keras bagaimana padanan nama anak laki-laki yang cocok untuk disandingkan dengan nama "Nawang" yang lazim dipakai oleh anak perempuan.

Sampai sebulan sebelum dilahirkan pun sang suami masih berharap anaknya berjenis kelamin laki-laki, kendatipun sejak usia kehamilan menginjak bulan kelima sudah jelas dan terang calon bayi berjenis kelamin perempuan.  Sang dokter menambahkan tapi "belum tentu", sambil melirik ke sang calon ayah.  Mungkin itu sudah SOP sang dokter dalam menghadapi kekecewaan para ayah yang egois ingin agar anak pertamanya seorang pria sejati.

Benar saja, pada usia kehamilan menginjak akhir bulan ke delapan, sang bayi perempuan dilahirkan sedikit premature dengan berat dua koma delapan kilogram dan panjang empat puluh dua centimeter.  Gadis mungil dalam artian yang sesungguhnya, yang tatkala bersitatap mata dengan sang ayah, dunia dan seisinya mendadak menjadi tak berarti bagi sang ayah yang sebelumnya sangat egois ingin memiliki anak lelaki.

Sejak saat itu, sang ayah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dan ingin hidup seribu tahun lagi, serta bersedia melakukan apa saja demi putri kecilnya. Jika saat itu si ayah diperintahkan membunuh raja lalim sekalipun, serta merta akan disanggupi sepanjang hal tersebut bisa membuat putrinya tersenyum.

Beberapa hari setelah melahirkan, dan diperkenankan pulang ke rumah, sang ayah sudah menunjukkan rasa sayang kepada putri kecilnya, tatkala perawat menawarkan untuk "menindik" telinga putrinya. Saat sang istri menyetujui, serta merta sang ayah menolak tegas, "Jangan, kasihan, nanti dia kesakitan." 

Dengan lugu sang perawat berkata, "Nanti kalau sudah besar justru sakit pak, mumpung sekarang masih kecil." Sang suami kukuh pada pendiriannya, membuat sang perawat dan sang ibu tercengang-cengang tak tahu mesti berkata apa. 

Hingga kini, tatkala si putri kecil sudah berusia dua puluh satu tahun, cuping telinganya masih belum dilubangi dan tak pernah menggunakan giwang, entah sampai kapan. 

Namun adik perempuannya yang lahir dua tahun kemudian serta agak ugal-ugalan, telah melubangi telinganya pada saat berusia sembilan belas tahun, itu pun setelah dua bulan penuh membujuk rayu sang ayah, yang akhirnya luluh dan hingga kini tak tega membayangkan jarum menusuk cuping telinga anak gadisnya. Padahal si empunya telinga gembira bukan buatan menghiasi telinganya dengan giwang, jika tak dilarang bisa saja dua atau tiga lubang dibuatnya.

Sejak kelahiran anak pertamanya yang berjenis kelamin perempuan, sang ayah sedikitpun tak berkeinginan lagi memiliki anak laki-laki. Alasannya, jika memiliki anak laki-laki, khawatir tidak akan sayang seperti dirinya memiliki dan menyayangi anak perempuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun