Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Enggan Menggunakan Kata "Saya" di Kompasiana

23 Oktober 2020   10:12 Diperbarui: 23 Oktober 2020   10:34 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebelumnya mohon maaf, jika untuk tulisan kali ini saya menggunakan kata ganti "saya" sebagai kata ganti penutur kisah, oleh sebab saya tidak terbiasa menggunakan kata tersebut. Biasanya dalam artikel saya selalu menggunakan, "pria tua", "pria uzur", "penggiat SDM" atau juga "seorang ayah", sebagai pengganti kata saya, sekaligus menjelaskan bahwa saya memang seorang ayah yang sudah tua juga adanya, tepatnya berusia lima puluh tiga tahun.

Saya berkenalan dengan kompasiana, di awal tahun 2020, akibat membaca tulisan seorang kompasianer yang dibagikan di facebook. Memang antara tahun 1986 sampai dengan tahun 1992 selama masih kuliah, saya memiliki kegemaran menulis. Biasanya berupa puisi dan artikel yang untuk kemudian dikirim ke koran atau majalah nasional. Namun seiring beralih profesi dari mahasiswa masuk ke dunia kerja, kegiatan menulis terhenti sejak tahun 1992.

Kegiatan menulis kembali saya ulangi sejak tahun 2000, namun lebih kepada menulis modul bahan ajar karena kebetulan di sore hari saya mengajar di perguruan tinggi di kota Tangerang, dan diilanjutkan dengan menulis surat-surat jawab jinawab untuk keperluan persidangan di pengadilan sejak tahun 2009 seturut profesi tambahan saya sebagai pengacara.

Sejak munculnya facebook, kegemaran saya menulis tersalurkan melalui media pertemanan tersebut. Awalnya masih seputar komentar social budaya, makin lama seturut dengan jagat perpolitikan di negeri ini yang kian hari kian memanas, akibat terciptanya dua kubu politik, tulisan saya menjadi lebih kepada memaki-maki penguasa. 

Memang pada dasarnya, dalam dunia politik saya selalu berada pada posisi orang yang selalu kritis terhadap penguasa, tak peduli siapapun penguasanya. Baik itu penguasa yang merupakan pilihan saya, apalagi bukan. Begitu mereka lancung dalam mengelola negara, maka kritikan akan saya suarakan. Sayangnya, jaman kini hal tersebut menjadi barang langka.  Akibatnya mengkritik penguasa yang salah, akan dilibas oleh para pendukungnya. Tak terkecuali yang terjadi terhadap saya sekelurga. 

Oleh sebab saya dan istri berbeda pilihan dalam jagoan pilpres, manakala saya mengkritik jagoan istri yang kebetulan menang pilpres di media social, maka pertengkaran dan saling cemooh terjadi antara kami. Untung anak kami juga terbagi dua, satu pendukung istri dan penguasa dan satu lagi ikut aliran saya. 

Tapi tak urung bukan sekali dua saja kami bertengkar akibat status tajam saya di media social, yang biasanya berakhir dengan saya tidur di sofa dua sampai tiga malam. 

Sekali saya coba untuk tidur di kamar tamu akibat bertengkar hebat di sore harinya, anak gadis saya yang sulung menangis meraung-raung, dan si bungsu tercengang-cengang tak mengerti mengapa kakaknya sedemikian histeris, mungkin dalam pikiran si kakak jika sudah pisah kamar akan berlanjut permanen menjadi pisah rumah, pisah harta dan pisah kartu keluarga. 

Beda halnya jika hanya sekedar tidur di sofa.  Di sinilah arti penting tidur di sofa dan tidur di kamar lain bagi pasangan suami istri yang sedang berselisih paham. Jadi walaupun kita memiliki kamar lain di rumah, jika sedang bertengkar dan sedang muak bukan buatan dengan pasangan janganlah gunakan kamar lain tersebut.

Berangkat dari dunia politik kita yang didukung individu yang tidak terlalu dewasa seperti keluarga kami tersebut atas, akhirnya keinginan saya untuk menulis tentang perpolitikan dan pemerintahan di tanah air terpaksa harus ditahan. Sebab bagi saya, menulis tentang pemerintah tentunya harus menyentil kian kemari, mengkritik sehabis suara.

Jika hanya memuja-muji itu sama saja jadi alat propaganda. Tak tega saya sama ilmu dan uang rakyat yang sempat saya nikmati melalui fasilitas-fasilitas negara yang dibiayai oleh uang rakyat, berupa jalan raya, lampu jalan dan saluran air serta seabrek fasilitas lain yang tak mungkin saya sebut satu persatu.  Mohon maaf dan salam takzim kepada para fasilitas tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun