Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Dengarkan Orang yang Sudah Tidak Membaca Tiga Hari

23 September 2020   14:28 Diperbarui: 23 September 2020   14:45 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Namun demikian, sebelum mencapai taraf kegemaran membaca, sesungguhnya diawali dengan adanya kegemaran mendengar dahulu.  Jadi tahap pertama anak mendengarkan orang tuanya mendongeng dengan cara membaca dari buku atau media lainnya, kemudian di waktu berikutnya sang anak akan penasaran dan berusaha untuk membaca sendiri dongeng yang dibacakan oleh orang tuanya. 

Di sinilah letak persoalannya, sebab di bumi pertiwi ini dongeng sebelum tidur merupakan kearifan local yang telah dijalani sejak nenek moyang hingga kini.  Hanya sayangnya, kebiasaan orang tua mendongeng dilakukan tanpa membaca buku, melainkan sekedar menceritakan kisah yang sudah hafal di luar kepala.   Akibatnya, sang anak tidak merasa penasaran dan ingin membaca sendiri.  Mereka menjadi pasif  dan menunggu para orang tuanya mendongeng, bukan membacakan dongeng.  Akibat selanjutnya, keinginan membaca menjadi rendah.

Bahayanya Miskin Literasi

            Dalam ajaran agama Islam dikatakan, bahwa ayat pertama yang diturunkan dalam kitab suci adalah "Iqra", yang artinya "bacalah".  Ayat pertama tersebut diturunkan dan diulang sampai tiga kali.  Demikian juga dengan agama-agama yang lainnya.  Tak ada satupun agama di muka bumi yang tidak memiliki kitab suci, dan tidak mewajibkan umatnya membacanya setiap hari.  Itu artinya, ajakan untuk membaca sudah diperintahkan sejak manusia mengenal kebudayaan yang dalam hal ini adalah agama.  Berapa banyak kisah, legenda, epos yang dituliskan oleh kaum cerdik pandai jaman dahulu kala dan dibaca turun temurun hingga sekarang.

Pepatah Cina mengatakan, "Jangan pernah mendengarkan omongan orang yang sudah tidak membaca tiga hari, karena ilmunya ilmu lima hari yang lalu.".  Pesan moralnya, sebelum berbicara belajarlah lebih dahulu, agar apa yang dibicarakan memiliki nilai tambah.  Dan nilai tambah tersebut hanya dapat diperoleh melalui bacaan yang berkualitas.  Tanpa bacaan, maka apa yang kita keluarkan tak akan memiliki isi yang sempurna, demikian juga jika kita ingin menuliskan pokok pikiran atau pendapat, bahkan sekedar menulis cerita pun, tanpa dibekali dengan bahan bacaan yang baik maka isi pembicaraan atau isi tulisan kita hanya akan datar-datar saja.  Tidak memiliki substansi yang memadai.

Beberapa waktu terakhir ini, dibarengi dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat, tingkat minat baca kian menurun.  Mengapa demikian, karena pada hakekatnya kegiatan membaca membutuhkan energi, baik tenaga maupun pikiran.  Pada saat membaca, pikiran kita dipaksa untuk membayangkan apa yang kita baca.  Sebagai contoh, jika kita membaca tentang orang yang menunggang kuda hingga suara tapak kaki kuda terdengar berderap-derap, maka otak kita serta merta membayangkan kegiatan penunggang kuda tersebut.  Demikian juga dengan tenaga, sebab membaca membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan posisi duduk yang baik.  Dalam kondisi tubuh lelah atau sakit, kita tak mungkin mampu membaca dengan sempurna.  Bandingkan dengan kegiatan menonton yang memiliki sarana audio visual seperti televisi misalnya.  Kita dengan mudah menyaksikan seorang penunggang kuda dengan bunyi berderap, bahkan tampak rambut dan baju penunggang kuda berkibar-kibar.  Dalam kondisi setengah sadar pun kita masih bisa melakukannya, sebagai contoh berapa banyak orang yang menonton televisi sambil tidur-tidur ayam, atau terkantuk-kantuk seperti orang lanjut usia.

Lihatlah anak-anak remaja, bahkan anak-anak kecil nyaris tak ada yang luput dari terpaan atau ketergantungan kepada media pandang dengar, baik itu televisi, computer maupun telepon pintar.  Berapa banyak yang hilang minat bacanya karena merasa dimanjakan dengan konten-konten yang tersedia.  Jika ada satu dua konten yang berupa buku atau teks bacaan, maka kebanyakan dari pengguna hanya akan melihat apa yang diperlukan saja sebagai bahan referensi.  Hanya sedikit saja yang mau bersusah payah membaca secara penuh konten yang ditampilkan.  Godaan untuk menonton konten-konten produk media audio visual sudah dimulai sejak anak masih jauh di bawah umur.  Banyak orang tua yang dengan sadar memberikan anak mainan berupa telepon pintar agar mereka bisa memilih konten apa yang diinginkan serta asik dengan dunianya sendiri.  Kemudian, orang tua yang tak paham bahaya di kemudian hari tersebut, juga sibuk dengan dunianya sendiri yang dikuasainya dalam genggaman dan sentuhan jemarinya.

            Kebiasaan membaca yang dimulai sejak dini, pada dasarnya akan memberikan kemampuan seseorang untuk memiliki perspektif yang tajam dalam memandang suatu persoalan, di samping akan sangat membantu seseorang dalam mengelola imajinasinya untuk menyelesaikan suatu masalah.  Tanpa dibekali dengan kebiasaan membaca, yang selanjutnya merupakan ilmu dalam pembuka pikiran, maka seseorang akan dengan mudah menerima masukan apapun dan dengan gampang menganggap masukan-masukan tersebut sebagai sebuah kebenaran, tanpa mampu menganalisanya terlebih dahulu karena miskin referensi akibat miskin literasi.  Jadi jangan heran, jika berita-berita bohong, hingga tak masuk akal sekalipun acapkali dianggap sebagai berita yang benar.  Akibat lanjutnya hoaks berseliweran, konten-konten sampah dan tak bermutu di media massa maupun di media social, menjadi santapan sehari-hari.  Bukan karena apa, melainkan semata-mata karena kemalasan untuk berpikir, sebab konten-konten seperti itu biasanya ringan-ringan belaka dan tak membutuhkan pemahaman yang agak berat.

            Dari dan oleh karena itu, marilah kita sebagai anak bangsa, selamatkan generasi penerus.  Setidaknya mulailah dari rumah masing-masing.  Ajarkan anak kita dengan kearifan local, berupa gemar membaca dan saling tukar cerita yang bermutu.  Hindari terpaan media massa yang sekarang menjamur, dengan acuan rating serta follower.  Yang pada akhirnya, hanya akan menjadi ladang subur bagi para pemilik modal untuk menjual barang apapun yang mereka produksi.  Tak peduli barang yang diproduksi sebagian besar sama sekali tidak memiliki manfaat bagi kehidupan umat manusia di planet manapun di dunia ini.

Tangerang, 23 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun