Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Tidak Berpikir Sendirian

22 Februari 2020   17:17 Diperbarui: 22 Februari 2020   17:23 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sebuah desa penghasil anggur, tentunya bukan di Indonesia, memiliki kebiasaan unik yang dilakukan sejak nenek moyangnya setiap selesai panen anggur.  Para petani di sana diwajibkan menyumbang sebotol anggur perasan terbaiknya ke balai desa, dengan cara menuangkannya langsung ke dalam tangki yang besar.  Setelah seluruh penduduk desa menyumbangkan anggur terbaiknya masing-masing, maka pada waktu yang telah ditentukan para penduduk berkumpul, untuk sama-sama menikmati anggur tersebut dan merayakan pesta panen.  Acara penuangan anggur pertama dilakukan oleh kepala desa. 

Tersebutlah seorang petani yang agak malas, demi menjaga harkat dan martabat anak cucunya namanya tak usah kita cantumkan di sini.  Sang petani berpikiran, bahwa jika ia sendiri yang menyumbangkan sebotol air, mungkin tidak akan terlalu kentara, toh penduduk yang lain pasti akan meyumbangkan anggur terbaiknya.  Akhirnya, seturut dengan kemalasannya memeras anggur dan menyumbangkannya, sang petani pada suatu malam membawa sebotol air dan menuangkannya langsung ke dalam tangki penampungan anggur.  Tak jelas sambil deg degan atau tidak detak jantungnya.

Pada hari minggu di akhir bulan, tibalah saatnya pesta perayaan panen anggur di desa tersebut diselenggarakan.  Para penduduk desa berduyun-duyun memenuhi balai desa dengan riang gembira.  Tua muda, besar kecil, pria wanita berceloteh kian kemari sambil menantikan kedatangan kepala desa guna membuka keran dan menuangkan anggur pertamanya.  Tanda pesta panen telah dimulai.

Seperti kedatangan kepala desa pada umumnya, dan di planet manapun  di jagat raya, para penduduk mendadak riuh rendah manakala kepala desa memasuki arena balai desa.  Sebagian penduduk lain yang agak memiliki etiket sibuk memberi isyarat agar penduduk yang tak tahu etiket agar sedikit tenang, jangan gelisah seperti cacing tersiram cairan pemutih pakaian.   Tenyata seliar apapun khalayak, jika saat yang disakralkan tiba, mendadak mereka bisa tenang dengan sendirinya.  Mungkin demikianlah kehendak alam.

Sambil menghitung mundur, dari mulai tiga agar tak terlalu lama, sang kepala desa membuka keran dan menuangkan anggur pertamanya ke dalam gelas sambil meneguk air liur sekali dua.  Namun apa yang terjadi, mendadak wajah kepala desa berubah pucat seperti warna bulan dini hari.  Ternyata yang keluar dan terkumpul ke dalam gelas, bukanlah anggur terbaik, melainkan hanyalah air putih biasa.

Penasaran dengan gelas pertama, kepala desa mencoba lagi dengan gelas yang kedua, tetap saja yang keluar hanyalah air bening biasa.  Saking paniknya, dengan berkeringat dingin kepala desa mencoba dengan mengisi sebuah botol, tetap saja hasilnya sebotol penuh berisi air belaka.

Di sebuah pantai berbukit batu di bilangan Anyer Banten, seorang pria warga negeri ini berjalan berduaan dengan wanita, yang kebetulan berasal dari negara Korea.  Tak jelas mereka berteman, berpacaran ataupun seorang pemandu wisata yang membawa tamu asingnya, ataupun seorang pekerja di perusahaan asing sedang ditugaskan mengajak jalan-jalan putri majikannya.  Yang pasti pembawaan mereka berdua tampak akrab seolah-olah dilahirkan dari ayah dan ibu yang sama.  Terlihat mereka berdua berjalan di atas bukit batu pinggir pantai sambil makan kuaci.

Sang wanita, setiap habis mengupas dan memakan isinya, menyimpan kulit kuaci ke wadah khusus.  Entah untuk kegunaan apa kulit kuaci tersebut nantinya, sehingga disimpan dengan baik seolah-olah menyimpan uang pecahan lima puluh ribuan. 

Sementara sang pria, seperti kebanyakan warga negeri ini lainnya dengan santai membuang kulit kuaci ke pantai di bawahnya.  Menyadari sang pria membuang sampah sembarangan, sontak sang wanita menoleh dan murka, "Kenapa anda membuangnya ke laut?".  Dengan tanpa dosa sang pria menjawab, "Aah, hanya kulit kuaci ini, belum sampai ke laut saja dia sudah punah ditelan angin.".   "Jangan begitu, jika semua orang  membuang sampah sekecil ini ke laut, maka laut akan kotor, penuh sampah kulit kuaci terkutuk ini.", sang wanita makin murka.

Sang pria salah tingkah dan bingung mesti berbuat apa.  Konon menurut si wanita, di negaranya ada sebuah suku yang jika anggota keluarganya ada yang meninggal, maka akan dikremasi dan abunya dibuang ke laut lepas.  Selanjutnya, para keturunan suku tersebut tak pernah mengotori laut, karena menganggap laut sebagai kuburan handai taulan serta kerabatnya.

Seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Tangerang, berulang kali mengingatkan kepada para mahasiswanya, untuk perbuatan negative, jangan pernah berpikir bahwa hanya kita saja yang melakukannya.  Sebab bukan tak mungkin, orang lain pun akan berpikiran sama dengan kita.  Misalnya, jangan pernah berpikir, "Ah kalau saya sendiri yang bolos hari ini, tak apa-apa, toh teman yang lain pasti pada masuk."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun