Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menstigmatisasi Pakaian adalah Kesesatan Berpikir dalam Memahami Terorisme

18 Desember 2020   15:34 Diperbarui: 18 Desember 2020   16:30 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shutterstock.com/Pelaku Terorisme

Waktu sekolah dulu, saya memakai celana cingkrang, dan guru agama di sekolah langsung bertanya alasan saya mengenakan celana tersebut. Ini celana saya dua tahun lalu, saya bertambah tinggi, celana menjadi pendek. "Saya kira kamu punya aliran-aliran gitu", balasnya dengan kekhawatiran. 

Pakaian merupakan salah satu media yang dapat mengomunikasikan seseorang atau situasi, dalam hal ini pakaian berkaitan dengan semiotik/tanda. Saat di rumah duka, orang Indonesia umum mengenakan setelan hitam atau putih sebagai lambang kedukaan, atau misalnya mereka yang pakai kemeja lengkap dengan dasi, akan diidentikan sebagai pekerja kantoran. Satu lagi, ramai disebut juga bahwa cadar dan celana cingkrang ialah pakaian para pelaku teror.

Dua pakaian pertama adalah identitas, sedangkan yang terakhir ialah stigma, yang kemudian dibesarkan, dan menjadi fenomena permasalahan di masyarakat. Pertama, asosiasi pakaian terhadap terorisme terjadi karena pelaku terakhir yang dilihat/dibaca oleh seseorang, memakai pakaian tersebut. Kedua, sentimen terhadap suatu golongan tentu jadi dasar mengapa kemudian masalah ini jadi konsentrasi utama pencegahan terorisme. Kalau tidak, lelaki di kota saya yang mengenakan koko, dengan atribut muslim lainnya akan aman berjalan saat hendak pulang dari pondok ke rumahnya. Tentu tanpa pelucutan kardus, lengkap dengan seisi tas yang dibongkar seluruhnya di jalan.

Maksudnya mencegah, namun sebait klarifikasi bahwa yang diperiksa bukan pelaku teroris, lantas tidak ditampilkan di media. Esoknya, diskusi diskursus terkait kewaspadaan terus bermunculan. Perempuan bercadar, pria berjanggut dan bercelana cingkrang jadi hal lama yang kemudian asing dan menyeramkan. Tentu, ini bagian dari kesesatan pikir, istilahnya hasty generalization, kondisi di mana seseorang tidak memiliki data yang lengkap, namun sudah membuat generalisasi, yang akhirnya keliru.

Tokoh kartun bercadar dan bercelana cingkrang (Sumber: diggfun.co dan https://jokowikerjagiat.blogspot.com)
Tokoh kartun bercadar dan bercelana cingkrang (Sumber: diggfun.co dan https://jokowikerjagiat.blogspot.com)

Coba bayangkan, jika mereka yang bercadar diasosiasikan sebagai teroris, betapa sakit hatinya Princess Jasmine yang beberapa kali mengenakan cadar di serial Disney, lantas dituduh sebagai pelaku teror. Lihat juga beberapa tokoh di kartun Naruto, dengan kostum celana cingkrang, kehadirannya bahkan jauh dari kesan terorisme, pun para pelaku teror di dunia nyata banyak juga yang mengenakan celana trendy, sepatu sport, yang jauh dari kesan yang selama ini distigmatisasi. Saat zaman-zamannya terorisme ISIS 2014 silam, pakaian saya juga turut diprasangkai. Celana cingkrang yang saya kenakan semasa SMP dulu bukan tanpa sebab digunakan, saya tak mampu membeli celana baru kala itu, namun guru agama di sekolah menduga bahwa saya simpatisan di salah satu aliran.    

Kenyataan ini jika efeknya semakin besar, akan menjadi pendiskreditan terhadap satu agama, padahal tiap agama punya peluang juga untuk dimasuki oleh oknum teroris (meski tidak ada yang berharap demikian). Setahun silam, saat Brenton Tarrant, teroris asal Australia yang menembaki Masjid Christchurch pun seisinya, tentu menjadi daftar kejahatan di negeri perdamaian. Refleksinya bukan dengan menanyakan apa agama dan pakaiannya, melainkan dengan mengutuk perbuatan, mengawal keadilan, dan tidak berupaya berbuat sama adalah hal yang lebih dari cukup, daripada sibuk mengaitkan pakaian, agama, dan tindak kejahatannya.

Media juga berperan dalam menggiring opini publik, namun kehadirannya juga tak terelakkan dilatari oleh faktor lain, terkait profesi dan upaya mempertahankan eksistensi. Kondisi yang demikian juga bergantung para pembaca, kontrol penyebaran informasi harusnya dapat dikendalikan jika tiap individu mampu memahami isi informasi secara kontekstual, di samping fenomena berebut untuk jadi paling up to date, atau merasa memberikan pendidikan setelah menyebarkan informasi tersebut -- padahal belum diketahui kebenarannya.

Berpikir kritis selain menjadi salah satu kemampuan di abad ke-21, harusnya juga menjadi kemampuan yang dapat dimaksimalkan pada kondisi yang demikian. Betapa gegabahnya anak muda saat ini -- ini misalnya ya, membagikan informasi dengan percaya diri, padahal tak tahu duduk masalahnya, dan tak paham konteks kebenarannya. Ini mungkin akan menjadi sulit, karena dasar yang perlu dimiliki yakni kemampuan bertanya dan meragukan, jarang diajarkan di dunia pendidikan.

Siswa diberitahu satu ditambah satu sama dengan dua, diajarkan cara secepat mungkin dalam mengerjakan soal, namun tak diberitahu mengapa hasilnya begitu, dan mengapa perlu berlaku demikian. Refleksinya, kita tahu bahwa berbagi informasi adalah baik, namun mengapa informasi dibagikan, apakah memang perlu, apa dampaknya, dan seperti apa kronologinya yang kita tak paham. Sejatinya, dengan berpikir kritis lebih dulu, bersikap skeptis positif, ialah langkah awal menciptakan iklim sosial perdamaian, dan kebutuhan akan informasi dapat tersampaikan dengan baik, tanpa menimbulkan intrik, stigma, ataupun perpecahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun