Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sekawan Sadeli di Puncak Bukit

5 November 2020   13:08 Diperbarui: 5 November 2020   13:12 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit: Travel Tempo.Co

 

"Ayo, Mak. Bu guru sudah kirim tugas."

Begitu Sadeli menyeru. Rupa tak biasa, begini lampaunya.

1 

Sekawan kembali, mengayun kaki dan bau keringat,

Biasa, di tasnya setumpuk buku, gambaran kartu,

juga tugas dari bu guru. Tentu, kalau tak lupa.


"Sedep" tutur Emak mengendus leher Sadeli, saat tiba di beranda rumah.

Bapak duduk menyila, pun satu tanyanya, "tadi ponten berapa?"

Cengirnya bersambut gegaruk dan lari begitu saja.

Nada mengingat, teriak Emak larang Sadeli ke bukit.


2

Pukul 3, hampir selepas siang,

Samper Sekawan Cimarga, teras ke teras.

Sadeli menyahut pelan, mendilik siapa di balik pintu.

"Hiji, dua, tilu." tunggang langgang menenteng jepit,

menuju batas pagar, penuh belukar.

Puncak tak sampai,

bayangan semu dulu menjamu.

 "Masa itu kuping Sadeli memerah,

hingga sehari tak masuk sekolah.

Siapa yang mau juga?"

Membalik wajah, kemudian kompak menyengir,

Sekawan mengikut Emak pulang.

"Padahal karena digigit nyamuk."

tambah Emak dalam hati.

3

Hanya balai yang punya televisi.

Sewarga saat itu bermukim sejenak,

menyimak kanal biru, sambil seruput kopi cap kupu-kupu.

"Dua orang katanya." Sangka tiada guna.

Lalu begitu, bertahap beratus ribu.

Berbulan bermukim saja, tentu bukan di balai, ya!


4

"Ayo, Mak. Bu guru sudah kirim tugas."

Begitu Sadeli menyeru. Tak biasa rupa.

Ia tetap bangun pagi, pun minta dimandikan,

meski kini tak repot mencari dasi dan ikat pinggang.


Pukul 3, berubah sepuluh pagi.

"Hiji, dua, tilu." tunggang langgang memakai jepit,

menuju batas pagar, penuh belukar.

Para Emak membawa tikar, kini berubah teriaknya,

"Pelan-pelan jalan ke puncak!"

Sepanjangnya lalu lalang hutan,

babi-ular tiada suka bercakap, namun sesekali ia suka di sini.

Tatap penuh gusar, tegur pun tegar,

puncak bukit kini, menjelma meja belajar.

Banten, 2020

Teruntuk Anak-anak Cimarga, sekolahmu di bukit kini, tiada apa, sehat jiwa dan pikir kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun