Â
"Ayo, Mak. Bu guru sudah kirim tugas."
Begitu Sadeli menyeru. Rupa tak biasa, begini lampaunya.
1Â
Sekawan kembali, mengayun kaki dan bau keringat,
Biasa, di tasnya setumpuk buku, gambaran kartu,
juga tugas dari bu guru. Tentu, kalau tak lupa.
"Sedep" tutur Emak mengendus leher Sadeli, saat tiba di beranda rumah.
Bapak duduk menyila, pun satu tanyanya, "tadi ponten berapa?"
Cengirnya bersambut gegaruk dan lari begitu saja.
Nada mengingat, teriak Emak larang Sadeli ke bukit.
2
Pukul 3, hampir selepas siang,
Samper Sekawan Cimarga, teras ke teras.
Sadeli menyahut pelan, mendilik siapa di balik pintu.
"Hiji, dua, tilu." tunggang langgang menenteng jepit,
menuju batas pagar, penuh belukar.
Puncak tak sampai,
bayangan semu dulu menjamu.
 "Masa itu kuping Sadeli memerah,
hingga sehari tak masuk sekolah.
Siapa yang mau juga?"
Membalik wajah, kemudian kompak menyengir,
Sekawan mengikut Emak pulang.
"Padahal karena digigit nyamuk."
tambah Emak dalam hati.
3
Hanya balai yang punya televisi.
Sewarga saat itu bermukim sejenak,
menyimak kanal biru, sambil seruput kopi cap kupu-kupu.
"Dua orang katanya." Sangka tiada guna.
Lalu begitu, bertahap beratus ribu.
Berbulan bermukim saja, tentu bukan di balai, ya!
4
"Ayo, Mak. Bu guru sudah kirim tugas."
Begitu Sadeli menyeru. Tak biasa rupa.
Ia tetap bangun pagi, pun minta dimandikan,
meski kini tak repot mencari dasi dan ikat pinggang.
Pukul 3, berubah sepuluh pagi.
"Hiji, dua, tilu." tunggang langgang memakai jepit,
menuju batas pagar, penuh belukar.
Para Emak membawa tikar, kini berubah teriaknya,
"Pelan-pelan jalan ke puncak!"
Sepanjangnya lalu lalang hutan,
babi-ular tiada suka bercakap, namun sesekali ia suka di sini.
Tatap penuh gusar, tegur pun tegar,
puncak bukit kini, menjelma meja belajar.
Banten, 2020
Teruntuk Anak-anak Cimarga, sekolahmu di bukit kini, tiada apa, sehat jiwa dan pikir kita.