Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tak Lengkap Maka Tak Sayang: Ulasan Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1

1 Agustus 2020   00:33 Diperbarui: 1 Agustus 2020   01:25 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit Foto: Indonesia OneSearch by Perpusnas

Beberapa orang beranggapan bahwa belajar bahasa Indonesia adalah hal yang rumit dan membingungkan. Tidak salah jika melihat perkembangan yang ada, sekaligus memerhatikan bahwa sifat bahasa yang dinamis; yang berubah-ubah dari masa ke masa.

Jika anda hendak memulai belajar bahasa Indonesia dari segi tata bahasa, buku ini mungkin akan cocok untuk dipelajari, meskipun sebenarnya agak kuno untuk menyarankan anda membaca buku terbitan tahun 2011 ini. 

Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1 yang diterbitkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ini seperti namanya, berusaha untuk mengantarkan pembaca memahami lebih lanjut tentang bahasa Indonesia.

Buku setebal 193 halaman ini bukan saja memuat kaidah kebahasaan secara teoritis, namun juga memberikan berbagai contoh empiris terkait pertanyaan seputar bahasa. Bagian ini juga yang menjadi awal buku ini dimulai, yaitu menjawab berbagai pertanyaan kebahasaan.

Misal saja, manakah yang benar, Pusat Pendidikan dan Latihan atau Pusat Pendidikan dan Pelatihan? Lalu, samakah arti negeri dan negara? Serta pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya mengacu pada kaidah yang berlaku saat itu. 

Tak hanya itu, buku ini pula menjelaskan mengenai kata, kalimat, dan juga istilah dalam bahasa Indonesia. Bagian-bagian di dalamnya banyak muncul dari fenomena ketika manusia melakukan komunikasi baik verbal ataupun nonverbal dengan orang lain, sehingga terasa begitu dekat dengan keseharian.

Misalnya, mana kata/kalimat yang baku dan tidak baku? yang benar ekstrim atau ekstrem? prangko atau perangko? Dan banyak kata/kalimat lain yang menjadi contoh di dalamnya.

Pembahasan tentang bahasa juga dikaitkan dengan sastra pada bagian kelima dalam buku ini. Mulai dari pengertian, manfaat, contoh, hingga cerita rakyat turut dibahas di dalamnya.

Pada bagian ini, bukan saja mengarahkan pembaca untuk sekadar tahu, namun turut membawa pembaca untuk mengklasifikasikan seperti apa ciri sastra yang baik, yang kemudian bisa digunakan sebagai dasar ketika seseorang berada pada tahap penciptaan karya sastra.

Mengenai sastra, meskipun dijelaskan dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti, namun agaknya penjelasan ini terkesan acak dan terlalu singkat untuk ukuran sastra yang begitu kompleks. Sayangnya, bagian ini hanya tampak seperti memperkenalkan sastra dan bagian-bagiannya secara umum, yang barang kali pembaca dapat menemukannya dengan mudah di internet. 

Hal lain yang kemudian kurang elaboratif adalah cara penyusun memilih dan memilah bagian yang hendak dijelaskan, bukan yang harus dijelaskan. Misalnya, pada bagian teknik meresensi fiksi, penyusun menjelaskan lima pokok yang harus ada di dalamnya, yaitu tema, sudut pandang, tokoh, alur, dan bahasa.

Kemudian, pada bagian lain, penyusun menjelaskan tema secara spesifik pada bagian tersendiri, namun tidak dengan empat pokok lainnya, yang sebenarnya sama-sama penting untuk dijelaskan. Kembali pada bagian awal, lalu mengurutkannya hingga bagian akhir.

Alangkah lebih baik jika penyusun membuat alur atau storyline yang jelas serta terstruktur ketika menyajikan penjelasannya, sehingga pembaca tidak perlu bersusah payah untuk mengolah data, mengurutkan, serta mengingat lebih keras apa saja yang telah dilaluinya pada halaman-halaman sebelumnya. 

Kekecewaan lain pula datang ketika tim penyusun tidak menjelaskan teori secara mendalam berdasarkan kajian linguistik; pada bagian kata, tidak ada pengantar teori morfologi yang dijelaskan secara utuh, begitupun pada bagian kalimat yang tidak memuat pengantar teori sintaksis di dalamnya.

Meskipun tergolong kompleks, teori ini perlu disinggung untuk mengantar pembaca pada pemahaman yang utuh dan sesuai. Buku yang penulis gunakan untuk menyusun resensi ini diterbitkan pada tahun 2011. Terdapat beberapa perubahan dari segi kosa kata baku dengan saat ini, misalnya dalam buku disebutkan kata ustad sebagai kata baku, padahal saat ini yang baku adalah ustaz.

Lalu, padanan disinfect saat itu diartikan sebagai awahama, yang saat ini dapat dilafalkan dengan disinfektan. Hal ini adalah wajar mengingat bahasa bersifat dinamis, dan dapat pula menjadi catatan bagi penyusun untuk memperbaharui isi yang sudah tidak relevan jika buku ini diterbitkan kembali. Sekaligus alangkah lebih baik jika sampul terbitan 2011 yang tampak seperti buku panduan sekolah ini dirancang lebih menarik lagi. 

Buku ini pada akhirnya diklasifikasikan sebagai karya nonfiksi yang dapat dibaca menggunakan berbagai teknik membaca, baik intensif ataupun ekstensif sesuai kebutuhan pembaca.

Di luar segala kritik tersebut, penerbit sekaligus naungan pemerintah yang saat ini bernama Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi atas upayanya menerbitkan karya yang berorientasi untuk mencerdaskan masyarakat, khususnya pada ranah bahasa. (@tokads)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun