"Saya pikir budaya penolakan dapat mencerminkan kesadaran bahwa orang tidak mau menerima hal-hal yang dulu mereka terima atau tidak mampu mereka tolak di masa lalu, tetapi dalam beberapa hal ini adalah kepanikan moral,” kata Stanfill, asisten profesor Bahasa Inggris.
Di sisi lain, menurut Insider, budaya penolakan ini mulai populer sejak sekitar 2017, setelah gagasan "menolak" selebriti karena tindakan atau pernyataannya bermasalah menjadi populer.
Dalam artikel Insider, Lisa Nakamura profesor University of Michigan yang mempelajari hubungan media digital dengan ras, gender, dan seksualitas, menjelaskan mengenai budaya penolakan yang terjadi saat ini.
Kata Lisa, dalam wawancara kepada The New York Times pada tahun 2018, budaya penolakan saat ini ya berbentuk "budaya boikot" terhadap selebriti, merek, perusahaan, atau konsep tertentu.
Di Google Trends, antara kata kunci boikot dan tolak, cenderung terlihat ada peningkatan dalam 4 tahun terakhir. Meski, term dua kata kunci itu mengalami naik turun.
Pada kata kunci boikot berwarna biru, terlihat di pertengahan agustus 2017 hingga menuju akhir tahun mengalami peningkatan. Peningkatan itu semakin tinggi dan mencapai puncaknya di tahun 2020.
Begitu juga dengan kata kunci tolak berwarna merah. Dalam grafik yang muncul dalam Google Trends, di periode yang sama, kata kunci tolak itu mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 2020, tidak terlalu beda dengan 'boikot'.
Seperti yang kita tahu, baru-baru ini sedang ramai penolakan warganet mengenai Saiful Jamil tampil di stasiun tv karena sang aktris merupakan mantan narapidana kasus pedofil.
Tidak hanya itu saja, glorifikasi yang ditampilkan saat kebebasan sang artis dari penjara juga menjadi ramai hingga muncul petisi online, meminta KPI melarang stasiun tv menampilkan Saiful Jamil.