Mohon tunggu...
Tito Adam
Tito Adam Mohon Tunggu... Jurnalis - Social Media Specialist | Penulis | Fotografer | Editor Video | Copy Writer | Content Writer | Former Journalist

Senang untuk belajar dan belajar untuk senang | Instagram @titoadamp | Email titoadamp@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Penolakan "Cancel Culture", Kontroversi atau Edukasi?

13 September 2021   17:47 Diperbarui: 13 September 2021   17:53 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cancel culture. Sumber: Research World

Namun, kini budaya penolakan ini mengalami pergesaran yang cukup jauh. Kekinian dalam pop culture, budaya penolakan bisa menimpa siapapun. 

Mulai dari brand, personal atau isu tertentu yang menjadi perhatian atau sasaran penolakan ini. Budaya penolakan tidak lagi menyasar "scoop" besar yang menyangkut pada hajat hidup orang banyak. 

Kekinian, cancel culture ini menjadi budaya yang jamak dilakukan menyesuaikan agenda yang memang sedang dipersiapkan. Agenda ini memang menyasar untuk meramaikan agar orang-orang "latah" mau mengikutinya.

Lalu sebenarnya, cancel culture ini tujuannya edukasi atau hanya sekedar kontroversi?

Menurut Universitas Central Florida, cancel culture ini dianggap sebagai sebuah praktik keadilan sosial modern yang menggerakan masa banyak sebagai platform bagi suara yang termarjinalkan.

“Kami terkadang memiliki kecenderungan untuk mengatakan hal-hal melalui media sosial atau platform lain yang mungkin tidak akan kami katakan jika kami bertatap muka dengan seseorang,” ujar DiLiberto dosen Filsafat UCF

Dalam laman websitenya, Universitas Central Florida memberikan beberapa bentuk contoh bagaimana peran cancel culture di era masa kini. Budaya penolakan itu memberikan banyak edukasi kepada banyak orang.

Salah satu bentuk edukasi yang disampaikan di laman itu adalah #MeToo movement, gerakan suara orang-orang yang mengalami pelecehan seksual dan selama ini tidak pernah berani bersuara kepada siapapun.

Gerakan #MeToo ini luas di kalangan artis Hollywood usai tuduhan pelecehan seksual oleh mantan produser film Harvey Weinstein beredar luas di tahun 2017. 

Di artikel UCF yang menyoroti apakah memang budaya penolakan ini memang efektif atau tidak, disampaikan jika media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi, menyediakan lebih banyak cara untuk terhubung daripada sebelumnya. 

Tetapi dalam banyak hal, itu membagi kita dan menyebabkan kita memfokuskan energi kita di tempat yang tidak selalu dibutuhkan. Artikel mengenai Cancel Culture menurut Universitas Central Florida, BISA KAMU BACA DI SINI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun