Mohon tunggu...
Tito Julian Jatmiko
Tito Julian Jatmiko Mohon Tunggu... Mahasiswa - College student at Accounting University of Muhammadiyah Malang

Seorang yang memiliki motivasi yang besar untuk hidup menjadi orang baik dan mengharapkan kehidupan orang lain yang lebih baik. Saya, selain memiliki motivasi yang tinggi, juga ingin berkontribusi dalam kegiatan ini, sebagai bentuk ibadah dan juga merupakan sebuah kegiatan yang saya sukai. Saya senang sekali jika berkecimpung didunia sosial, terkhusus yang berkenaan dengan banyak nya bencana yang melibatkan banyak orang. Dan banyak bagian dari kegiatan sosial selalu menyenangkan buat saya, selalu menikmati dan berbahagia dengan sendirinya.

Selanjutnya

Tutup

Money

Dinamika Perekonomian Orde Baru

12 Juli 2021   19:10 Diperbarui: 12 Juli 2021   19:18 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta jiwa. Wilayah geografisnya terdiri dari 14.000 pulau yang tersebar di 3.000 mil dengan luas daratan 1 juta mil persegi. Kekayaan sumber daya alamnya tentu saja menarik perhatian pihak asing. Situasi politik di Indonesia tergantung pada rezim yang berkuasa. Orde Baru adalah rezim kedua yang memegang kekuasaan tetap di Indonesia. Rezim tersebut dipimpin oleh Suharto, yang membawa demokrasi Pancasila ke dalam kekuasaannya. Ternyata demokrasi pancasila hanyalah simbol dari rezim ini, realisasi kekuasaan rezim ini adalah otoritarianisme yang mengacu pada kekuasaan satu orang yaitu Suharto. Pemerintah Suharto mencari legitimasinya dengan janji-janji pembangunan ekonomi. Kata "pembangunan" menjadi titik fokus Orde Baru untuk membedakannya dengan Orde Lama Soekarno.

 Pembangunan mulai menjadi "ideologi" baru yang diusung oleh pejabat pemerintah di masa Orde Baru, yang memberikan legitimasi bagi sebagian besar kebijakan dan tindakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan propaganda negara tentang UUD 1945 di segala bidang kehidupan sosial politik. Pembangunan dipandang sebagai jalan terbaik untuk mengimplementasikan Pancasila, demikian pula setiap orang di negeri ini wajib mendukungnya.

 Untuk menjaga perekonomian, Suharto merekrut ekonom sipil dari Universitas Indonesia, yang kemudian sering disebut sebagai "teknokrat". Ideologi utama para teknokrat ini adalah prinsip ekonomi ortodoks atau biasa disebut dengan ekonomi neoklasik, yang berpandangan bahwa perlunya mengoptimalkan fungsi pasar dan meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Namun, sebagian besar, mereka juga setuju dengan prinsip Keynesian yang cenderung mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi berdasarkan indeks GNP. Intervensi negara, dalam pandangan ini, penting untuk mempercepat proses industrialisasi. Oleh karena itu, upaya pengembangan sektor industri harus selalu digalakkan, karena pembangunan sektor industri dipandang perlu untuk menciptakan daya dorong yang besar bagi pembangunan ekonomi pada umumnya.

 Alur pemikiran ini didukung langsung oleh W.W. Rostow. Rostow menemukan bahwa semua masyarakat akan melalui lima tahap perkembangan masyarakat tradisional yang merupakan premis untuk tinggal landas, tinggal landas, jatuh tempo, dan akhirnya konsumsi massal. Sebagai negara berkembang, posisi Indonesia dalam pandangan ini berada pada tahap kedua atau transisi dari tahap tradisional ke tahap lepas landas. Keberadaan wirausahawan yang kuat, pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pertanian yang tinggi, serta pembangunan infrastruktur sangat penting untuk mempercepat proses ini dan kemudian memasuki fase start-up. Menurut logika pemikiran ini, peran pemerintah tak terelakkan untuk memajukan pembangunan. Dalam arti yang lebih struktural, ideologi campuran ini sebenarnya mewakili basis sosial-politik rezim Orde Baru itu sendiri. "Ideologi" ekonomi neoklasik mencerminkan elemen demi kepentingan borjuasi nasional dan internasional. Secara khusus, perusahaan transnasional (TNCs) dan mitranya di Indonesia memiliki kepentingan dalam mengembangkan modal nasional dan memperoleh surplus ekonomi dari upaya mereka. Akibatnya, strategi pembangunan ekonomi yang dipilih oleh Rezim Orde Baru tidak selalu didasarkan pada mekanisme pasar yang benar-benar terbuka dan adil secara sistematis.

 Aliran modal asing ke Indonesia membuat industrialisasi Indonesia bergantung. Salah satu ibu kota terbesar di Indonesia adalah Jepang. Sejak akhir 1960-an, Jepang telah menjadi negara terpenting dalam hal penanaman modal di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Perusahaan transnasional Jepang (TNCs) telah memindahkan industri mereka ke wilayah tersebut terutama untuk mengurangi biaya tenaga kerja dan tekanan dari Amerika Serikat untuk mengurangi surplus perdagangan mereka yang berlebihan dalam perdagangan secara bilateral dengan Amerika Serikat. Kebijakan pemerintah Jepang memainkan peran strategis dalam mendorong TNC Jepang untuk berinvestasi dan memindahkan industri mereka ke Asia Tenggara.

Industrialisasi yang Bergantung dari Penghujung 1960-an sampai era 1970-an

Pada awalnya, pemerintah Orde Baru menempatkan peran modal asing dalam menstabilkan perekonomian Indonesia, mendesak mereka untuk kembali melalui kebijakan liberalisasi. Tujuan mendesak dari kebijakan liberalisasi pemerintah adalah untuk memulihkan sistem produksi. Undang-undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 memberikan insentif hari libur dan pembebasan bea masuk atas mesin dan peralatan manufaktur lainnya selama tahun-tahun awal produksi. Sebagaimana tercantum dalam pasal 21 undang-undang ini, perusahaan asing dijamin oleh pemerintah untuk tidak dinasionalisasi di kemudian hari. Selama tiga siklus REPELITA, pemerintah membangun industri substitusi impor untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, dengan tujuan mengurangi ketergantungan terhadap produk impor.

Kecenderungan menuju strategi substitusi impor sebagian didasarkan pada keyakinan bahwa populasi yang besar tersebut merupakan pasar yang potensial dan juga ketersediaan bahan baku untuk industri modern karena Indonesia kaya akan sumber daya alam. Strategi ini juga diharapkan dapat berkontribusi dalam mendorong perkembangan sektor manufaktur, selain mengurangi defisit neraca pembayaran dan menghemat devisa. Tumbuhnya ketergantungan pada sumber pendanaan asing pada masa awal Orde Baru dapat dilihat pada kenyataan bahwa tiga perempat dari REPELITA I (1964-1974), yang dibiayai oleh pinjaman luar negeri, telah meningkat menjadi 877 juta dolar AS dalam beberapa tahun terakhir.  

Tahun (1974). Mulai tahun 1972, utang luar negeri yang baru sejak tahun 1966 melebihi semua utang luar negeri yang diwarisi oleh pemerintah Soekarno bertentangan dengan yang direncanakan semula, juga cenderung meningkatkan ketergantungan tergantung pada proses produksi dan bahan baku. Hal ini terlihat pada peningkatan impor bahan baku selama tahun 1970-an. Nilai impor bahan baku naik dari 1,191 miliar USD (25,5%) pada tahun 1975 menjadi 3,572 miliar USD (44,0%) pada tahun 1981. Selama tahun 1970-an, kontribusi penciptaan sektor industri (terutama manufaktur) dalam penciptaan lapangan kerja adalah juga relatif kecil. Sektor manufaktur hanya mampu menyerap 2.949.600 tenaga kerja, atau 7,8% dari total angkatan kerja pada tahun 1971, dan 4.360.700, atau hanya 8,6% dari total angkatan kerja pada tahun 1980.

Kecenderungan Pemerintah untuk Mengadopsi Prinsip Sistemik Ekonomi Pasar di Awal Tahun Era Orde Baru berkorelasi langsung dengan upaya membujuk negara-negara donor dan investor asing lainnya untuk berpartisipasi dalam pemilu ekonomi di Indonesia. Namun, pada awal tahun 1974, ketika pemerintah menerima pendapatan yang melimpah dari sektor ekspor, gagasan bahwa negara dapat memainkan peran yang lebih besar dalam perekonomian mulai muncul ketika negara menerima sektor perusahaan minyak sebagai basis modalnya yang kokoh. Sementara itu, kebijakan pemerintah yang menetapkan suku bunga tinggi untuk menahan laju inflasi telah membuat pengusaha lokal berada dalam situasi di mana mereka tidak memiliki akses ke modal asing, membuat mereka sangat kecewa. Mereka mendapati diri mereka dikucilkan dari dunia bisnis tradisional, seperti tekstil, minuman ringan dan rokok kretek, karena pesaing Cina dan asing memiliki akses yang lebih mudah ke permodalan. Tiba-tiba, pengusaha pribumi, yang juga anti-komunis dan dekat dengan kalangan Muslim saleh, menjadi yang pertama dalam koalisi pro-Soeharto yang mulai ragu bahwa kepentingan mereka dapat dipenuhi.

Industrialisasi yang Bergantung dari Periode 1980 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun