Siapa sangka sila-sila yang tertuang dalam Pancasila luruh hanya karena makhluk yang tak terlihat yakni "Virus Corona." Semua yang terjadi dalam dua pekan ini seolah menghapus slogan-slogan berkedok peri kemanusiaan dan keadilan sosial.Â
Jiwa gotong royong bangsa ini dipaksa runtuh, adab saling bertegur sapa mulai luruh, perlahan dihindari karena mulut dipaksa bungkam, bahkan masing-masing individu sibuk mengisolasi diri dengan berbagai aktivitas di dalam rumah tanpa peduli ada makhluk lain yang butuh uluran tangan. Wujud kepedulian cukup dengan transferan saldo tanpa tradisi silaturahmi dan bersalaman.Â
Inilah saat dimana manusia harus berkomunikasi tidak lagi dengan tatap muka secara langsung (face to face) tetapi lewat media elektronik. Kehadiran secara fisik tidak lagi penting dalam suatu agenda, karena imbaun social distancing yang terus digaungkan. Bisa jadi hal ini akan berkelanjutan karena mereka yang berkepentingan merasa lebih nyaman dan lebih fleksibel menjalani.Â
"Toh, dengan cara begini semua urusan kelar." Tanpa kita sadari pergeseran perilaku, dari label makhluk sosial menjadi makhluk individualistik mulai tampak tegas. Mungkin inilah saat-saat manusia merasa mampu hidup mandiri tanpa bantuan orang lain lagi.Â
Menjadikan orang lain hanya sebagai alat bukan lagi kerabat. Bahkan yang berada di atas tak lagi memikirkan bagaimana mereka yang merangkak di bawah terus tertatih menjalani hidup dengan berbagai aturan yang tak lagi bisa berkompromi.Â
Kekuasaan dan harta akan berbicara untuk membuktikan bahwa dirinya kuat bertahan. Sangat miris, jika akhirnya waktu menggilas mereka yang lemah dan tak berdaya. Tak mampu bertahan dan menyerah kalah oleh semburan COVID-19.
Akankah ini menjadi akhir dari sebuah cerita bahwa ada bangsa besar bernama Indonesia. Negeri yang aman, makmur, sejahtera, tentram, dan damai. Kini lagi berduka, berselimut kabut corona. Semoga badai ini segera berlalu tanpa menyisakan cerita luka.