Mohon tunggu...
Titien Saraswati
Titien Saraswati Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Arsitektur dan Lingkungan, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta 55224. E-mail kantor: titiens@staff.ukdw.ac.id

Guru Besar Arsitektur dan Lingkungan, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta 55224. E-mail kantor: titiens@staff.ukdw.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pemakaian Gadget di Kelas

28 Juni 2014   21:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:23 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jaman sekarang gadget boleh dikatakan ada di mana-mana. Gadget adalah alat, perangkat elektronik yang dipakai untuk komunikasi maupun untuk mencari data, berita, pertemanan di dunia maya, dan sebagainya. Sekarang anak SD-pun sudah mulai memakai itu. Para orang tua juga suka memakai itu, dan ini bagus agar bisa mengawasi apa yang dipakai oleh anak-anaknya, apa yang dilihat anak-anaknya. Orang tua bahkan dianjurkan untuk bisa memahami dan mengoperasikan gadget juga. Terlebih di lingkungan perguruan tinggi, tidak ada mahasiswa yang tidak punya gadget, meskipun itu hanya telepon seluler (ponsel) saja misalnya. Mahasiswa bisa mencari informasi yang diperlukan dengan lebih cepat dan praktis melalui gadget. Inilah beberapa keuntungan dengan kemajuan teknologi jaman sekarang. Namun apakah kemajuan teknologi itu diiringi perilaku yang positif, etika yang baik oleh pemakainya? Bahkan ada pendapat atau semacam sindiran yang berbunyi: We live in the era of smartphone but stupid people. Benarkah itu?

Kita lihat bagaimana para pengajar (guru, dosen) di lingkungan masing-masing dalam mengontrol pemakaian gadget. Para guru yang mengajar di SD, SMP, SMA tentu lebih mudah untuk mengontrol murid-muridnya saat pelajaran di kelas, agar para murid tidak memainkan ponsel misalnya, karena para murid itu masih dikategorikan “anak-anak”. Namun bagaimana di perguruan tinggi? Kelihatannya, sebagian sivitas akademika perguruan tinggi taken for granted dengan gadget itu. Sedikit-sedikit mengandalkan gadget. Sepertinya dianggap “kuno” atau “gaptek” bila masih ada perkuliahan yang tidak mengandalkan gadget. Bahkan peraturan di perguruan tinggi itupun ada keharusan mengoperasikan gadget. Demikian pula peraturan untuk mengusulkan kenaikan jabatan, pengajuan proposal penelitian, dan sebagainya di Ditjen Dikti Kemdikbud juga sudah mengandalkan gadget. Bila tidak diikuti, maka semua keperluan dosen tidak bisa diproses kalau tidak melalui web itu. Kelihatannya ideal bukan? Semua senang karena lebih mudah dan praktis.

Mahasiswa adalah siswa yang “maha”, yang sudah dianggap “dewasa” dan tahu bagaimana mengendalikan keinginan untuk mengoperasikan gadget. Saat mencari informasi atau bahan dari kuliah yang diberikan dosen, mahasiswa akan browsing dan googling membuka situs web yang diperlukan. Hal ini bisa dilakukan saat di luar jam kelas, atau saat di kelas bila dosen memintanya. Namun bagaimana bila saat kuliah, mahasiswa mengoperasikan gadgetnya? Penulis sering melihat pada saat kuliah beberapa mahasiswa mengoperasikan gadgetnya, Dan biasanya yang dilakukan adalah membalas short message service (sms) atau menulis dan membalas status dan sejenisnya di Facebook, Twitter, dan media sosial yang lain. Tentu saja ini mengurangi kemampuan mahasiswa untuk menyerap kuliah yang penulis berikan. Dari penelitian kecil yang dilakukan oleh mahasiswa penulis (tugas semester) tentang pemakaian gadget di kelas (studio) tertentu, ditemukan bahwa pemakaian gadget yang tidak terkontrol oleh mahasiswa memang bisa mengurangi kemampuan mahasiswa menyerap mata kuliah, mengurangi kemampuan mengerjakan tugas-tugas, tugas tidak bisa selesai pada waktunya sehingga terlambat mengumpulkan tugas, dan sebagainya. Akibatnya? Bisa saja nilai mahasiswa jelek, bahkan tidak lulussaat ujian. Jadi bagaimana sebaiknya?

Penulis melakukan dengan cara seperti berikut. Saat memberikan kuliah, diberikan aturan tidak boleh mengoperasikan gadget dengan membuka media sosial, membalas sms, kecuali ada hal penting tentang keluarganya. Tangan mahasiswa, terutama telapak tangan dan jari-jarinya harus bisa dilihat penulis, berarti tangan harus ada di pangkuan atau di meja ataupun di sandaran kursi yang berfungsi sebagai meja untuk menulis. Bila telapak tangan disembunyikan (dalam tas, dalam buku, dalam saku) maka mahasiswa tersebut penulis minta untuk keluar dari kelas dan tidak usah mengikuti kuliah penulis. Hal ini efektif mencegah mereka bermain dengan gadget saat kuliah. Lalu bagaimana dengan alasan bahwa mahasiswa menulis menggunakan laptop (komputer jinjing) saat kuliah? Bila saat itu mahasiswa diminta mengerjakan pekerjaannya, maka penulis mengijinkan mereka memakai laptop, apakah untuk menulis atau browsing. Tentu saja ada waktu tertentu agar pekerjaan itu selesai dan akan penulis lihat dan nilai dari laptop masing-masing. Namun saat kuliah, penulis tidak mengijinkan mereka menulis bahan kuliah yang penulis berikan memakai laptop. Lebih baik ditulis dengan tangan. Tidak praktis? Coba lihat berikut ini.

Menurut penelitian terbaru, bila tujuannya untuk memahami bahan kuliah yang diberikan saat itu, makamenulis bahan kuliah di laptop saat kuliah berlangsung adalah ide yang buruk. Menulis dengan tulisan tangan di buku/kertas lebih baik karena akan memaksa mahasiswa untuk secara aktif mendengarkan kuliah. Bila memakai laptop, ada kecenderungan mahasiswa menuliskan semua perkataan dosen dengan cepat tanpa berpikir, hanya menekan tuts keyboard pada laptop saja, kata demi kata seperti apa yang dikatakan dosen. Ini tidak mudah diingat oleh otak. Menurut Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer, dua psikolog yang melakukan penelitian itu, justru yang diingat otak ialah saat tangan secara manual aktif menulis huruf-huruf di kertas. Karena tidakmudah menulis manual dengan tangan secepat menekan tuts keyboard pada laptop, maka mahasiswa akan secara aktif mendengarkan kuliah dan memutuskan secara selektif apa yang penting untuk ditulis. Inilah yang membuat mahasiswa menjadi pembelajar yang aktif, baik otak maupun anggota tubuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengguna laptop akan mengingat apa yang dituliskan itu sedikit sekali bila dibandingkan dengan yang menulis manual dengan tangan. Selain itu, bila dilakukan menulis manual dengan tangan, ini akan melibatkan mendengarkan dengan aktif, mencoba untuk secara selektif informasi mana yang dianggap penting, dan menuliskannya secara manual di kertas. Bila itu dilakukan dengan laptop, ini hanya sekedar melakukan seperti robot yang hanya memindah kata-kata yang diucapkan dan mengkonversikannya ke dalam huruf-huruf.

Sepertinya hanya menyalahkan mahasiswa saja dalam menggunakan gadget. Sekarang bagaimana dengan para dosen? Penulis melihat pada saat mahasiswa melakukan presentasi, baik itu tugas semester maupun tugas akhir mahasiswa, beberapa dosen penguji asyik dengan gadgetnya. Kemudian penulis mencoba bertanya kepada beberapa mahasiswa, bagaimana pendapat mereka tentang hal itu. Mahasiwa mengatakan bahwa mereka tidak suka saat mereka presentasi tapi para dosen asyik dengan gadgetnya. Meskipun para dosen itu bisa mendengarkan dengan baik presentasi mahasiswa, namun mahasiswa juga ingin dilihat (tidak hanya didengarkan saja) apa yang mereka tayangkan di layar saat presentasi. Lebih lanjut, mereka juga ingin dilihat oleh dosennya saat presentasi, bagaimana cara mereka menggunakan segenap panca indera dan tubuh (body language) mereka. Kalau hanya didengarkan saja oleh dosen, lebih baik mahasiswa melakukan presentasi lewat audio saja. Bukankah dosen juga tidak suka bila memberikan kuliah di kelas namun para mahasiswa asyik bermain gadget? Penulis menganggap bahwa hal itu juga sepatutnya tidak dilakukan oleh para peserta dalam seminar, simposium, workshop dan sejenisnya. Menurut penulis hal itu merendahkan atau mengabaikan yang sedang melakukan presentasi di forum. Kalau sekedar membalas sms saja ya bolehlah, namun menjawab status di media sosial sepertinya kurang sopan dan tidak menghargai yang melakukan presentasi di forum itu, meskipun itu tidak diketahui oleh yang sedang melakukan presentasi. Anggaplah diri Anda sedang presentasi di forum, namun semua peserta seminar asyik bermain gadget, tanpa memandang Anda sedikitpun. Nah bagaimana pendapat Anda? Jangan sampai kata-kata di atas we live in the era of smartphone but stupid people berlaku untuk kita. Semoga kita bisa melakukan lebih baik.

---TS---

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun