Mohon tunggu...
Titi Ariswati
Titi Ariswati Mohon Tunggu... Penulis - Puisititi untuk sahabat sejati

Jemari menari tebar asa suci menuju mulia hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Bapak Tiada

7 September 2023   08:42 Diperbarui: 16 September 2023   13:41 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokpri/Titi

Pohon mangga di halaman rumah Bapak mulai berbunga. Pohon satu-satunya sepeninggal Bapak dan Ibu yang masih hidup. Pohon jambu biji sudah kurus kering, daunnya rontok, siap mengahadapi maut. Pohon jeruk nipis sudah mendahului kering kerontang sebelum Bapak pergi, lalu mati.  Pohon nangka pun demikian.

Aku hanya bisa memandangi, mengenang jejak Bapak, dari tanaman yang ada di halaman rumah Bapak. Bapak rajin merawat tanaman dan halaman, juga pekarangan lain.  Tak ada dedaunan kering yang rontok jatuh dan berserakan. Tanah yang berserakan diaduk-aduk ayam, dirapikan  dengan berjongkok. Hari-harinya disibukkan mengurus halaman yang tidak seberapa luas, sehingga rumah terlihat resik dan asri. Sambil merokok di tangan kiri, tangan kanan mengais-ngais tanah menimbun akar.

Kini Bapak telah tiada, menyusul ibu dua tahun kemudian. Akhirnya aku ditinggalkan. Merana bersama kenangan. Sungguh sebenar-benarnya, aku ingin menikmati hidup bersama kedua orang tuaku. Hidup yang tenang, penuh kasih sayang yang berkelimpahan. Meski limpahan kasih sayang sudah aku rasakan sejak lahir, namun masih terasa kurang.

Aku tumpahkan kerinduanku dengan melangkah menuju makam. Makam keluarga hanya berjarak lima puluh meter dari belakang rumah Bapak. Jalan setapak yang sudah diaspal dengan biaya dana desa menjadi lebar, cukup untuk dilewati mobil. 

Pekarangan  yang penuh tanaman liar kini sudah bersih, tanahnya siap diolah. Entah ditanami palawija atau tanaman lain oleh penggarap. Pemiliknya entah siapa, aku tidak tau. 

Dari kejauhan terlihat kendaraan lalu lalang, dari arah Purwokerto menuju arah Purbalingga dan sebaliknya. Sejauh mata memandang tanpa halangan, matahari terlihat bersinar terang. Hangatnya menyapa tubuhku, sungguh nyaman.

Kulangkahkan kaki dengan tenang, untuk apa terburu-buru sedang alam menyajikan keindahan. Hijau dedaunan  di depanku  rimbun bergerak gemulai lembut disapa sang bayu. Berbagai jenis tanaman aku tidak tau namanya, bercampur dengan pohon kelapa, pisang, jarak. Dulu, semasa aku kecil, kebun itu rapi berjejer pohon kopi. Bapak yang menanam, mempraktekan ilmu saat menempuh pendidikan di Balai Latihan Kerja Klampok. Aku senang bergelayut di batang pohon kopi, mengulum-ngulum  buahnya yang merah dan manis rasanya. Tentu saja biji kopinya tidak aku kunyah tetapi dibuang.

Aku melanjutkan langkah, belok ke kanan. Pintu besi pemakaman keluarga tertutup rapat tapi tidak dikunci. Sekali geser aku bisa melangkah masuk. Makam  Ibu diapit Adik perempuanku dan Bapak.
"Assalamualaikum." Kuucapkan salam untuk keluargaku yang ada di bawah tanah, lalu melangkah ke pojok kiri pemakaman, tempat Bapak, Ibu dan adikku dimakamkan. Tanganku mencabuti rerumputan satu-satu. Tanahnya berpasir dan kering karena musim kemarau jadi mudah tercabut rumput-rumput di atas pusara.


Sambil mencabut rumput, lisanku melafalkan al fatikhakh, Al ikhlas, Al Falaq dan Annas. Aku memohon ampunan dan rahmat untuk keluargaku. Memohon surga tanpa hisab, juga pembebasan dari siksa kubur dan api neraka. Mereka menyayangiku sejak aku dalam kandungan sampai dewasa, maka kumohon kasih sayang-Nya untuk kedua orang tuaku.
Semoga mereka merasakan siraman kesejukan dari doa-doaku, penerangan alam kuburnya karena permohonanku kepada-Nya.

Setelah puas melepas rindu, aku bangkit dari jongkokku. Rerumputan sudah bersih, tak ada lagi di atas pusara. Kakiku melangkah keluar dari area makam keluarga. Aku sengaja berjalan lurus, tidak belok kiri ke arah rumah Bapak lewat pintu belakang. Aku ingin menengok pekarangan, seperti apa keadaannya sepeninggal Bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun