Mohon tunggu...
titi tatan
titi tatan Mohon Tunggu... -

berjalan dengan nurani... dan kekuatan dari Gusti Allah...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Stop Muna!!

22 Juni 2011   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:17 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segelintir orang mungkin memiliki pribadi sepertiku, bermuka dua. Istilah yang lebih keren munafik mungkin. Kadang-kadang aku berfikir, karakter seperti ini banyak dimiliki oleh orang-orang yang berasal dari suku jawa, tanpa bermaksud memicu polemik yang berbau sara,  aku hanya ingin berbagi cerita tentang bagaimana aku merasakan lingkungan tempat tumbuh kembangku dari kecil memiliki budaya seperti ini. Aku sekan diajarkan untuk mengerem setiap pendapat pribadiku mengenai kritikan, ketidaksukaan, penolakan atau mungkin bentuk keengganan kita terhadap pribadi yang bersangkutan, ya, kata ibuku nrimo namanya. Tapi parahnya, hal tersebut justru diungkap pada individu yang lain, yang mungkin berada diluar pokok masalah, entah mungkin karena sekedar curhat, ajang bergosip, mencari simpati, atau memang karena ingin membunuh karakter orang itu. Pola hidup seperti ini yang kini membentuk karakterku, seringkali aku mengangguk ketika aku tidak mau, dan tersenyum saja ketika hatiku menangis, dan memaklumi suatu keadaan, yang padahal, membuat hatiku terbakar dan ingin mendapatkan keadilan. Ketika hal itu terjadi, aku selalu berandai-andai, jika saja aku mampu mengulang waktu, aku ingin di didik sebagai individu yang merdeka, yang mempunyai hak untuk bisa mengeluarkan pendapat, apapun itu. Walaupun ada banyak konsekuensi di belakangnya. Aku terima.
Tapi bukan itu yang terjadi pada diriku sekarang, aku menjadi seseorang pendendam yang murah senyum, pemaaf tapi menangis di hati, nrimo tapi hanya di lahir saja.
Adakalanya aku berfikir, untuk menjadi diri sendiri, untuk berani berpendapat dengan semua konsekuensinya. Aku belajar untuk bicara menurut apa yang sebaiknya kubicarakan dan bertindak menurut apa yang sebaiknya  memang harus kulakukan. Semula aku merasakan bebas, menjadi individu yang baru, bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya. Tapi, penolakan justru datang dari lingkunganku. Tindakanku untuk menilai secara objektif banyak mendapat cibiran dari berbagai pihak, terutama kaum tua yang melihatku sebagai seorang yang kurang punya etika, tak tahu adat, tak tahu sopan santun, atau apalah kata meraka lainnya. Aku ingin berteriak. Aku muak. Namun aku cuma sendiri dalam lingkunganku ini..... Aku adalah ibu dari seorang puteri, 3 bulan, aku akan mendidiknya untuk menjadi pribadi yang mampu menyampaikan pendapatnya secara bebas, elegan, dan jujur.  Generasi yang merdeka.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun