"Biarin aja, biar mereka tahu kalo lu makek gua gak mau bayar."
Akhirnya mereka dilerai oleh sopir lainnya. "Udah-udah. Ngapain bertengkar di pasar. Ngomongin kek gitu lagi. Bubar semua," bentaknya.
Melihat kejadian itu, aku langsung menggeleng-geleng kepala. Ternyata, tidak ada lagi yang namanya aib. Semua bisa diobral ke publik. Semua sah. Padahal, bila dikampung, ada sedikit pamali melontarkan sesuatu yang dianggap aib kita.
"Sopir itu memang mau enak nya doang, main nggak mau bayar. Gua juga pernah digituin sama dia. Gua tagih terus sampai dia bayar," Â celetuk Sarmina.
"Lebaran di Jakarta berarti besok Mbak," aku mengalihkan pembicaraannya.
"Ya"
"Sama anak dan suami?" tanya ku lagi.
Ia mulai terdiam dan menundukkan kepala. Aku mulai diam juga. Karena kopi yang kuhirup mulai habis. Dan suasana pasar, perasaan ku menjadi hening, malam mulai menunjukkan mukanya, aku pun permisi untuk pulang. Sambil aku membayar kopi.
"Berapa Mbok?"
"Tiga ribu." Ku bayarkan kopi itu.
"Permisi Mbak. Saya pulang dulu. Udah mau mangrib. Orang-orang udah mau takbir nih."