Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak akan pernah terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini sebagai upaya penting yang mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari yang menyejahterakan.Â
Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia menapaki era baru sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 45 tahun 2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014.Â
Poin pertama, dalam hal kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan sistem ZONASI, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI.Â
Ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.
Sebagian besar daerah di Indonesia adalah lautan. Di dalam lautan kaya akan sumber daya alam, mulai dari ikan, anemon, terumbu karang, dan masih banyak lagi.Â
Di Indonesia memiliki jenis terumbu karang yang beragam, yang tersebar di lautan Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 35,15% kondisi terumbu karang rusak. Aktivitas manusia, perubahan iklim global, serta hama dan penyakit merupakan penyebab utama penurunan kondisi terumbu karang (Nindita, 2016).
Untuk mengamati degradasi kualitas terumbu karang dalam mendukung rehabilitasinya, dilakukan kegiatan penelitian dan monitoring terumbu karang dengan cara  menyelam.Â
Tapi, hal tersebut mempunyai beberapa kelemahan. Pertama penyelam membutuhkan biaya yang mahal untuk menyewa peralatan menyelam.Â
Kedua, faktor keselematan penyelam yang rendah di laut lepas. Ketiga, penyelam secara tidak sengaja dapat menyenggol, merusak, dan mematahkan terumbu karang saat di dalam air (Wibisono, 2017).Â
Kemudian teknik pemetaan laut saat ini masih dilakukan dengan teknik akustik, di mana peta tersebut kurang spesifik karena yang dihasilkanmerupakan peta topografi dasar laut tanpa gambaran jelas terumbu karang.Â