Mohon tunggu...
Tiny Wijaya
Tiny Wijaya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Have a hobby in writing,reading,singing and glad to have time for sharing with others for goodness.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Lebih Baik Bodoh: Sebuah Tinjauan ke Dalam Diri

14 Desember 2012   09:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:40 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

...lebihmudahmeraihdaripadamempertahankanapayangtelahdiraih...

Manusia selalu haus akan pengakuan diri seperti pujian, sanjungan dan penghormatan yang kadang-kadang membuat si "aku" terbang tinggi hingga lupa bagaimana cara mendarat. Pada satu sisi pengakuan diri (selfacknowledgement) memang memberikan suatu ganjaran yang dapat memacu kita untuk selalu mempertahankan posisi "aku" yang telah diakui tersebut. Namun di sisi lain, selfacknowledgment yang tidak disertai dengan kewaspadaan malah akan menjerumuskan diri kedalam "kurungan kesombongan" yang justru dapat mengurangi pengakuan diri itu sendiri atau bahkan melenyapkannya begitu saja. Akibat ketidakwaspadaan diri sendiri, semua pengakuan yang diperoleh sebelumnya seolah memudar lenyap begitu saja. Terkadang memang lebih mudah meraih daripada mempertahankan apa yang telah diraih.

Pujian, sanjungan dan penghormatan sebenarnya hanyalah secuil "kesegaran" yang kita butuhkan dalam proses menjalani hidup ini. Bagaikan mata uang yang selalu mempunyai dua sisi untuk menunjukkan keabsahan nominal yang tertulis di atasnya, manusia pun demikian. Di balik "kesegaran" tadi manusia memerlukan "pecut" berupa kritik, cemoohan atau bahkan hinaan sebagai pemacu untuk membuktikan nilai diri.

Coba kita perhatikan, bagaimana perasaan kita saat menerima pujian dan bagaimana pada saat menerima penghinaan? Pasti orang akan selalu senang dengan pernyataan, "Wah, anda pintar sekali," dan tentunya berbeda rasa bila menerima pernyataan seperti ini: "Bagaimana sih, kamu bodoh sekali!" Padahal kedua respon ini seharusnya dipandang memiliki esensi yang sama dalam memacu diri untuk terus belajar. Bahkan kalau boleh saya memilih, di antara lima komentar yang saya terima dari orang lain, sebaiknya tiga berupa pujian dan dua berupa kritik atau cemoohan. Kenapa saya memilih demikian? Mari kita analisa bersama.

Selalu ada alasan dan motif yang melatarbelakangi setiap komentar yang dilontarkan orang lain dalam menilai apa yang kita perbuat. Entah itu bersifat obyektif maupun subyektif, entah untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan bersama. Ada komentar kamuflase dan ada juga komentar yang benar-benar apa adanya. Nah, dari sini kita dapat menilik diri masing-masing dan menjawab pertanyaan berikut. Lebih mudah yang mana, memberikan komentar kamuflase berupa pujian ataukah komentar kamuflase berupa sebaliknya (baca: kritik, cemoohan)? Secara pribadi saya akan menjawab lebih mudah berkamuflase dalam memberikan komentar positif. Orang akan "lebih" jujur bila ia memutuskan memberi komentar negatif terhadap orang lain. Tidakkah demikian?

Oleh karena itulah saya memilih di antara lima komnetar, kalau ada dua kritikan atau cemoohan, saya akan lebih berterima kasih. Dua "pecut" itu memiliki nilai lebih untuk mendorong kita selalu belajar dan mencari pembuktian diri. Dengan kata lain, ada suatu learningvaluemotivation dalam setiap komentar negatif itu. Lagipula, kita tidak memerlukan kedewasaan ataupun kebijaksanaan yang tinggi untuk menerima pujian, tetapi sebaliknya kebijaksanaan yang tinggi sangat diperlukan untuk menerima kritik dengan lapang dada dan benar-benar menjadikannya "pecut" agar selalu belajar dalam hidup ini.

Apakah kita bodoh? Ya, kita masih bodoh. Dengan merasa begitu kita akan selalu terdorong untuk terus belajar dan menjadikan setiap momen kehidupan ini sebagai "guru privat" yang tidak pernah resign atau mengundurkan diri dari jabatannya. Bodoh yang dimaksud di sini tentu saja bersifat relatif bagi setiap orang. Seperti yang dialami oleh seorang teman saya. Ia seorang wanita yang sangat pandai dalam segi akademik dan berasal dari keluarga cukup mampu. Setelah lulus S1 terbuka luas kesempatan untuk memperoleh beasiswa S2 di USA maupun Jerman. Tetapi dia memilih tetap tinggal di Indonesia bekerja pada sebuah LSM dengan gaji kecil, berpacaran dengan seorang lelaki selama beberapa tahun yang akhirnya meninggalkannya menikah dengan wanita lain, padahal orang "luar" sudah dari awal mengingatkan "kejelekan" lelaki ini. Apakah teman saya itu bodoh? Apakah dia salah pilih dengan hanya kerja di LSM ? Apakah dia terlalu bodoh memilih lelaki itu? Jawabannya: Tidak! Di LSM dia belajar banyak bagaimana cara berbaur dan berempati dengan kehidupan kaum "terpinggirkan", banyak hal yang dia tulis dalam beberapa jurnal yang dikirimkan ke LSM di luar negeri, dia benar-benar dapat merasakan dan memahami bahwa cinta tidak harus memiliki, yang kemungkinan sebagian besar orang hanya bisa menuliskan dan mendendangkan lagu tanpa pernah meresapi maknanya.

Sekali lagi, apakah teman saya itu bodoh? Dengan sekian banyak pelajaran yang dia peroleh dari sesuatu yang mungkin dianggap orang sebagai sesuatu yang "salah" atau "bodoh", saya tetap mengatakan pilihannya sudah benar dan dia tidak bodoh, melainkan "masih bodoh". Inilah kenapa dikatakan bahwa bodoh itu relatif. Selama banyak learningvalue yang kita peroleh, kenapa takut dibilang bodoh?!

Hanya orang yang benar-benar bodoh yang menyebut dirinya pintar, dan

Hanya orang pintar yang merasa dirinya masih bodoh.

Hanya orang pintar yang dapat berpura-pura menjadi orang bodoh, dan

Hanya orang bodoh yang berpura-pura menjadi orang pintar.

Anda termasuk yang mana? Silakan direnungkan sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun