Pada pukul 03.15 pagi, tanggal 22 Juni 1941, langit Eropa Timur belum terang benar. Kabut tipis masih menggantung di ladang-ladang Ukraina, belantara Belarus, dan tepian sungai Bug yang memisahkan Jerman dan Uni Soviet. Tanpa peringatan, meriam-meriam Jerman meletus. Lebih dari 3 juta tentara Nazi bergerak cepat melintasi perbatasan, diiringi ribuan tank dan pesawat tempur.
Itulah hari ketika Operasi Barbarossa dimulai—invasi militer terbesar dalam sejarah manusia. Tapi ini bukan sekadar operasi militer. Ini adalah kisah pengkhianatan, kekuasaan yang melampaui hukum, dan negara yang memilih untuk menyerang, bukan melindungi.
Dan dari kisah inilah kita belajar: bahwa hukum tanpa kekuatan moral bisa runtuh. Bahwa negara bisa berubah menjadi pelaku kejahatan terbesar dalam sejarahnya sendiri.
Perjanjian yang Dikhianati, Hukum yang Diinjak
Dua tahun sebelumnya, tahun 1939, Jerman dan Uni Soviet menandatangani Pakta Molotov–Ribbentrop, sebuah kesepakatan non-agresi. Dunia terkejut—dua ideologi yang saling bertolak belakang, fasisme dan komunisme, bersepakat untuk tak saling menyerang.
Tapi di balik itu, ada rencana busuk. Hitler tak pernah benar-benar berniat damai. Ia hanya menunda, menunggu saat yang tepat untuk melumat Uni Soviet dan memperluas Lebensraum—“ruang hidup” bagi bangsa Arya.
Dan ketika subuh itu tiba, perjanjian itu diludahi. Tanpa deklarasi perang, tanpa komunikasi diplomatik, invasi dilakukan secara sepihak. Di sinilah hukum internasional diinjak-injak. Prinsip non-agresi dan pacta sunt servanda (janji harus ditepati) tak lebih dari selembar kertas tak bernilai.
Ketika Pemimpin Jadi Hukum Itu Sendiri
Yang lebih mengerikan dari invasi ini bukan hanya serangan militer, tetapi cara berpikir yang melandasinya. Di bawah ideologi Nazi, hukum adalah kehendak sang pemimpin—der Führer. Dalam sistem ini, tak ada konstitusi yang mengikat, tak ada lembaga yang mengontrol, dan tak ada ruang untuk menolak. Negara bukan lagi institusi kolektif, tapi bayangan dari kehendak satu orang.
Dalam kerangka hukum tata negara, ini adalah puncak absolutisme: ketika kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif digenggam oleh satu tangan. Maka tak heran, negara bisa memutuskan untuk menyerang negara lain, membunuh warga sipil, dan memusnahkan etnis tertentu, tanpa takut pada konsekuensi hukum. Karena di negeri seperti itu, hukum adalah kekuasaan itu sendiri.