Belakangan ini, dunia perdagangan internasional kembali memanas. Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menetapkan kebijakan baru berupa tarif resiprokal. Artinya, negara-negara yang menjual barang ke AS akan dikenakan tarif yang setara dengan tarif yang mereka kenakan terhadap produk asal Amerika. Kebijakan ini bukan sekadar angka-angka pajak, tapi mencerminkan arah politik dagang yang semakin proteksionis.
Indonesia pun ikut terdampak. AS memasukkan kita ke dalam daftar "Dirty 15", yaitu negara-negara yang dianggap memberikan hambatan dagang tinggi bagi produk-produk Amerika. Salah satu sorotan adalah aturan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan regulasi impor di sektor-sektor seperti farmasi dan teknologi. Dari sisi ekonomi, kebijakan ini tentu menimbulkan kekhawatiran. Produk-produk ekspor unggulan seperti karet, alas kaki, dan elektronik bisa terancam daya saingnya di pasar AS. Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin kita akan merasakan tekanan pada nilai tukar rupiah hingga defisit perdagangan.
Dari perspektif hukum, langkah AS ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. Sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), seharusnya semua negara tunduk pada prinsip perdagangan bebas dan adil. Pengenaan tarif secara sepihak dan tidak melalui mekanisme multilateral berpotensi melanggar prinsip-prinsip WTO, terutama terkait asas resiprositas dan non-diskriminasi. Dalam hal ini, Indonesia memiliki hak untuk mengajukan protes dan menempuh mekanisme penyelesaian sengketa melalui WTO.
Namun, yang tak kalah penting adalah langkah-langkah strategis yang bisa diambil Indonesia. Pemerintah perlu mendorong diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada AS. Di sisi lain, hilirisasi industri juga harus dipercepat agar produk ekspor kita bernilai tambah tinggi. Dan tentu saja, pendekatan diplomatik harus terus dijalankan demi menjaga hubungan dagang yang sehat.
Kebijakan tarif resiprokal ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga cermin dari dinamika hukum internasional dan strategi politik dagang. Dalam situasi seperti ini, penting bagi Indonesia untuk bersikap cermat untuk melindungi kepentingan nasional, namun tetap menjunjung tinggi hukum dan etika dalam perdagangan global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI