Di tengah kekayaan alam dan keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia, sejarah mencatat bagaimana hukum pernah menjadi alat untuk mengontrol, bukan membebaskan. Selama masa penjajahan, hukum tidak hadir untuk melindungi rakyat, melainkan untuk memastikan kepatuhan terhadap kekuasaan asing. Dua kekuatan besar, yakni Belanda dan Jepang hadir dengan pendekatan yang berbeda dalam menggunakan hukum, namun memiliki tujuan yang sama: menundukkan dan mengendalikan rakyat Indonesia.
Politik Hukum Kolonial Belanda: Hukum sebagai Alat Penataan Kekuasaan
Selama lebih dari tiga abad, Belanda mengelola Hindia Belanda dengan strategi yang terstruktur dan sistematis. Salah satu instrumen terpenting dalam penjajahan mereka adalah hukum. Melalui peraturan-peraturan seperti Regeringsreglement (RR) dan Indische Staatsregeling, Belanda menciptakan sistem hukum yang membedakan antara orang Eropa, Timur Asing (seperti Tionghoa dan Arab), dan pribumi.
Hukum pidana (seperti Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indi) dan hukum perdata (seperti Burgerlijk Wetboek) diberlakukan dengan diskriminasi. Orang Eropa mendapatkan perlindungan hukum formal dan prosedural, sementara pribumi hanya dikenai hukum adat, dan itupun dibatasi oleh pengawasan pemerintah kolonial.
Sistem ini dikenal sebagai politik hukum dualistis, yang menciptakan pemisahan hukum berdasarkan ras dan status sosial. Dalam pandangan akademisi hukum seperti van Vollenhoven, hukum adat yang hidup di masyarakat hanya diakui sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan kolonial. Hukum adat dibekukan dan dikontrol dari atas.
Belanda juga membentuk lembaga pendidikan hukum seperti Rechtschool, namun lembaga ini lebih berfungsi untuk melatih pegawai hukum kolonial dari kalangan pribumi, bukan untuk membebaskan rakyat. Dalam kerangka politik hukum, strategi ini mencerminkan pendekatan yang paternalistik: hukum digunakan untuk menata masyarakat jajahan agar tetap tunduk, bukan untuk memberdayakan mereka.
Pendudukan Jepang: Hukum dalam Bayang-Bayang Kekuasaan Militer
Ketika Jepang datang pada tahun 1942, mereka membubarkan kekuasaan Belanda dalam waktu singkat. Banyak rakyat Indonesia awalnya berharap bahwa Jepang akan menjadi pembebas dari kolonialisme Barat. Namun harapan itu segera berubah menjadi kekecewaan.
Jepang menerapkan sistem pemerintahan militer (gunsei) di mana hukum tidak lagi berbentuk undang-undang tertulis yang kompleks, tetapi berupa perintah militer dan peraturan darurat. Tidak ada lagi pemisahan lembaga kekuasaan. Hukum menjadi bagian langsung dari mesin militer, dijalankan oleh polisi rahasia Kenpeitai dan aparat militer lainnya.
Jepang tidak banyak membuat hukum baru, tetapi memanfaatkan struktur hukum Belanda yang masih ada, dengan menyesuaikannya pada kepentingan perang dan kontrol. Ini merupakan contoh dari politik hukum otoriter, di mana hukum tidak berfungsi untuk mengatur secara rasional, tetapi untuk memperkuat kekuasaan yang absolut.