Indonesia selalu menghadapi tantangan besar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dari rezim ke rezim, persoalan ini tak kunjung terselesaikan. Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, harapan kembali muncul: mampukah pemerintahan ini benar-benar membawa perubahan, atau justru terjebak dalam lingkaran yang sama?
Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya menegakkan supremasi hukum secara adil. Namun, dalam praktiknya, hukum sering kali menjadi alat bagi mereka yang berkuasa. Ada kesenjangan nyata dalam penerapan hukum: rakyat kecil yang melakukan kesalahan kecil bisa dihukum berat, sementara pejabat yang terbukti merampok uang negara justru mendapat hukuman ringan, bahkan masih bisa kembali menduduki jabatan publik. Fenomena ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, yang pada akhirnya justru membuat korupsi semakin mengakar.
Salah satu tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi adalah kuatnya pengaruh politik dalam sistem hukum. Lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan kerap berada dalam tekanan politik yang membuat kinerjanya tidak maksimal. Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan elite politik sering kali berakhir tanpa kejelasan, atau hanya menyeret pelaku kelas bawah, sementara aktor intelektualnya tetap bebas. Situasi ini semakin diperburuk dengan revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang melemahkan independensi lembaga tersebut.
Dalam konteks demokrasi, korupsi menjadi ancaman serius bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sistem pemilu yang masih bergantung pada politik uang menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus. Banyak politisi harus mengeluarkan dana besar untuk meraih kekuasaan, dan ketika terpilih, mereka cenderung mencari cara untuk mengembalikan modal politiknya, sering kali dengan cara-cara yang melanggar hukum. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan lebih berpihak pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan rakyat secara luas.
Di awal tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada sejumlah kasus korupsi besar yang mengguncang publik. Salah satunya adalah kasus dugaan suap yang menjerat Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, terkait skandal Harun Masiku yang kembali mencuat. Kasus ini menjadi ujian bagi KPK dalam membuktikan bahwa mereka masih memiliki taring dalam menindak koruptor, meskipun dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Di sisi lain, skandal korupsi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dengan potensi kerugian hingga Rp193,7 triliun memperlihatkan bagaimana kebocoran anggaran di sektor strategis bisa begitu masif.
Pemerintahan Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dalam membuktikan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Langkah-langkah konkret harus diambil untuk memperkuat independensi lembaga penegak hukum, memastikan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara, serta menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu. Reformasi birokrasi juga menjadi kunci dalam memperbaiki sistem yang selama ini memberikan celah bagi praktik korupsi.
Namun, pemberantasan korupsi bukan hanya tugas pemerintah. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawasi kebijakan publik, menolak politik uang, dan berani melaporkan praktik korupsi di sekitar mereka. Jika hanya mengandalkan elite politik, harapan untuk Indonesia bebas dari korupsi akan sulit terwujud.
Kini, semua mata tertuju pada pemerintahan Prabowo. Apakah ia akan menjadi pemimpin yang berani membersihkan sistem dari korupsi, atau justru menjadi bagian dari masalah yang sudah mengakar? Jawabannya akan menentukan masa depan demokrasi dan keadilan di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI