* Balasan dari Ina Benga
:Teruntuk Ama Kopong, ata budi dike
Terima kasih, telah mengingatkanku melalui goresan penamu. Terima kasih, himbauan dan anjurannya. Saya tidak ke mana-mana. Hanya sesekali harus pergi ke kebun.
Duduk manis di rumah, tapi tidak dengan hatiku. Selalu jalan-jalan ke hatimu. Dalam sepi, dalam rindu, dalam mimpi dan lamunanku.
Sayang, setelah membaca suratmu, kau tahu? Masa pandemic memang berat, tetapi rindu pun tak kalah beratnya. Seperti berat badanku. Berat badan saat ini susah dikompromi.
Bagaimana tidak, pepaya, singkong, pisang, dan sayur motong berebutan masuk ke mulut. Maklum, yang namanya bantuan sering telat. Aturannya ribet. Tak jarang bermasalah. Dari data penerima, hingga kekeliruan dlm memahami regulasi prioritas penerima manfaat, dan tetek bengek lainnya.
Harga komoditi pun tak menentu. Harga sembako dipermainkan sesuka hati. Ada kesempatan dalam kesempitan. Sebagaimana awal mula kau menggodaku di tepi pohon kelapa saat pulang dari kebun tempo itu.
Hidup di negeri ini memang penuh warna-warni. Macam-macam kembangnya. Selalu begini dan begitu. Kalau tak begini begono, tak asyik. Aneh-aneh. Entah otak saya yang aneh, atau negara yang lucu.
Sayang, bukan hanya cuci tangan pakai sabun, tetapi saya selalu mandi lima kali sehari. Biar tetap syantik. Saya juga sering minum tuak, agar kebal. Jaga jarak, sudah tentu. Apalagi saat mabuk. Takut hatiku dicuri musuh di rumah sendiri.
Soal masker, selalu kugunakan menutup mulut dan bibir yang seksi ini, agar tidak disengat wabah setan itu. Akan tetapi, mulutku tidak tinggal diam bila ada geliat musuh.