Mohon tunggu...
Sony Kusumo
Sony Kusumo Mohon Tunggu... Insinyur - Menuju Indonesia Surplus

Sony Kusumo merupakan pengusaha yang peduli dengan kemajuan bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Kapitan, Asal Muasal Suku Tjoa di Palembang

26 Agustus 2021   10:30 Diperbarui: 26 Agustus 2021   10:35 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-XI, rupanya menjadi awal mula perkembangan etnis Tionghoa di Palembang, Sumatera Selatan. Dan sejak kehadiran Dinasti Ming atau di abad ke-XIV, berdirilah sebuah perkampungan etnis Tionghoa pertama di Palembang.

Kawasan itu bernama Kampung Kapitan. Berlokasi di tepian Sungai Musi, lebih tepatnya di Jalan KH Azhari, Kelurahan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang.

Luas kampung ini hanya sebesar 165,9 X 85,6 meter. Jika dilihat dari luasnya memang tergolong kecil, akan tetapi di masa kolonial Belanda, Kampung Kapitan pernah menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat pemerintahan untuk wilayah Seberang Ulu.

Terlepas dari itu, kata 'Kapitan' sendiri merupakan serapan bahasa Portugis yang berarti gelar bagi seseorang untuk mengatur komunitasnya alias pemimpin. Khusus di kampung tersebut, kata 'Kapitan' berasal dari gelar Kapitan Cina bernama Tjoa Ham Hin di tahun 1855.

Kampung Kapitan semula juga dihuni oleh rombongan keluarga besar nenek moyang Tjoa Ham Hin yang datang ke Palembang pada 1850. Mereka berasal dari Provinsi Hok Kian Kabupaten Ching Chow, Tiongkok.

Disamping keluarga, mereka juga tak luput memboyong anak buah, juru masak, serta para dayang turut serta ke Palembang. Maka tak heran bila dahulu kawasan yang berisi rumah-rumah panggung menjadi kampung pecinan.

Saat ini, hanya tersisa tiga bangunan peninggalan dari era Kapitan Tjoa Ham Hin. Dimana satu diantaranya adalah bangunan milik sang kapitan sendiri.

Meski sudah menua dan beberapa bagian tampak lapuk, namun pondasi bangunan yang terbuat dari kayu pulay pun masih tampak kokoh. Rumah pertama dijadikan sebagai tempat ziarah bagi masyarakat Tionghoa kepada para leluhurnya.

Sebab abu-abu leluhur masih tersimpan rapi disana sebagai bentuk penghargaan dan warisan bagi keturunannya. Tetapi tidak semua abu tersimpan, karena sebagian lagi ada yang dilarung ke laut ataupun dikubur di pemakaman.

Rumah kedua menjadi tempat ibadah kepada dewa sekaligus potret sejarah para kapitan. Sementara rumah ketiga kondisinya kini sudah hancur karena termakan usia dan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun