Mohon tunggu...
Sony Kusumo
Sony Kusumo Mohon Tunggu... Insinyur - Menuju Indonesia Surplus

Sony Kusumo merupakan pengusaha yang peduli dengan kemajuan bangsa Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Liem Koen Hian, Tokoh Wartawan, dan Politisi Tionghoa

29 Maret 2021   11:47 Diperbarui: 29 Maret 2021   12:32 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

'Indonesia adalah negeri jang terdiri dari semoea orang jang menganggap Hindia Belanda sebage tanah-aer mereka dengen aktif membantoe membangoen negara ini. Peranakan adalah satoe integral jang tida terpisahken dari bangsa itoe'. Kalimat itu merupakan gagasan yang ditelurkan oleh tokoh perjuangan kemerdekaan beretnis Tionghoa Liem Koen Hian dengan tajuk 'Indonesierschap' atau kewarganegaraan Indonesia pada 1928.

Maksud dari gagasan itu adalah bangsa Indonesia bukan hanya warga lokal, melainkan juga kalangan Tionghoa dan Arab. Asalkan mereka memiliki cita-cita yang sama terhadap kemerdekaan Indonesia.

Ide Liem sungguh mencerminkan sikap nasionalis dalam dirinya. Namun sebenarnya bagaimana dan sosok tokoh Tionghoa yang satu ini?

Liem lahir di Banjarmasin pada 1897 dari sebuah keluarga pedagang. Semasa hidup, ia berprofesi sebagai wartawan sekaligus menjadi salah satu tokoh Tionghoa dalam kancah politik Indonesia.

Tak heran bila Liem menekunin kedua profesi tersebut. Pasalnya sejak kecil ia kerap kali menyuarakan masalah ketidakadilan dengan lantang.

Salah satu keberaniannya diperlihatkan semasa bersekolah ELS (Europeesche Lagere School), yang setara dengan tingkat SD. Di saat itu, ia dikeluarkan dari sekolah lantaran berani mengajak gurunya yang berkebangsaan Belanda berkelahi.

Liem diketahui juga sempat menimba ilmu di Belanda, tetapi sayangnya tidak selesai. Berkaitan dengan kiprahnya dalam dunia kewartawanan, hal ini dimulai sejak ia mengadu nasib ke Surabaya pada 1915.

Ia bekerja di surat kabar bernama Thjoen Tjioe. Kemudian pada 1917, Liem menerbitkan Soe Liem Poo, yang merupakan surat kabar bulanan selama satu tahun.

Kemudian pada akhir 1918-1921, ia pindah ke Padang dan bertugas sebagai pemimpin redaksi di Sinar Soematra. Dan pada 1921-1925, Liem pindah ke Pewarta Soerabaia.

Ia juga sempat menjadi pendiri sekaligus pemimpin harian Soeara Poeblik pada 1925-1929. Dan pernah pula memimpin koran Sin Tit Po pada 1929-1932.

Pada April 1937, Liem dikabarkan juga sempat pindah ke Kong Hoa Po, namun di awal 1938, ia kembali bekerja di Sin Tit Po. kendati terus bergelut dengan dunia kewartawanannya, semasa hidupnya Liem juga diketahui sempat menekuni profesi lain.

Yakni berdagang saat tinggal di Aceh dan bekerja di sebuah perusahaan minyak di Balikpapan. Sayangnya tidak bertahan lama karena ia tak betah.

Sementara keinginannya untuk membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia telah lahir sejak gagasan 'Indonesierschap'-nya ditelurkan. Alhasil di tahun 1932, Liem mendirikan PTI (Partai Tionghoa Indonesia).

Di PTI, ia menjabat sebagai ketua umum selama setahun. Kemudian di tahun 1937, ia bergabung dengan partai beraliran kiri, yakni Partai Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo).

Pada akhir 1930-an, Liem aktif melakukan propaganda anti-Jepang dan salah satunya dengan menerbitkan buku yang berkaitan dengan itu di tahun 1938. Buntutnya, Liem sempat ditahan oleh pemerintah Jepang, meski tidak terlalu lama karena memiliki koneksi dengan Nyonya Honda, seorang kenalannya dari Kembang Jepun, Surabaya.

Tahun 1945, Liem ditunjuk sebagai salah satu anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Dan pada 1947, ia menjadi perwakilan Indonesia yang turut dalam perjanjian Renville.

Perjuangan dan rasa nasionalisme Liem tak berhenti disitu, tahun 1950, Liem kembali partai multi-rasial bernama Partai Tenaga Indonesia. Sayang setahun setelahnya ia ditangkap karena dituduh sebagai simpatisan komunis di era kepemimpinan Perdana Menteri Soekiman.

Lantas ia dipenjara di Cipinang selama kurang lebih tiga bulan, tanpa diadili dan dibebaskan dalam keadaan sudah sakit.  Ia merasa jerih payahnya melawan penjajahan melalui media dan jalur politik selama 20 tahun seakan tak ada artinya.

Alhasil peristiwa itu menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi Liem. Saking kecewanya, ia pun melepaskan status kewarganegaraan Indonesia.

Hal ini diketahui salah satunya lewat pengibaran bendera Tiongkok di saat hari ulang tahun negara itu tiba. Pada 1952, Liem pun tutup usia dan dimakamkan di Medan dengan status sebagai warga negara Tiongkok. 

Oleh: Sony Kusumo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun